Tuesday, May 23, 2023

Realitas Dunia Kampus : Kemana Perginya Obyektifitas ?

 Realitas Dunia Kampus : Kemana Perginya Obyektifitas ?


Pukul 18:03 WIB, kelas Strategic Operational Managementselesai dan sekaligus mengakhiri perkuliahan tatap muka minggu itu. Seperti biasa, semua meninggalkan kelas menuju ke sebuah ruangan yang berada dilantai 2 wifi corner untuk melaksanan sholat magrib berjamaah. Senda gurau dan obrolan-obrolan ringan sambil berjalan meninggalkan kelas memecah kekhusyukan perkuliahan.

Adalah suasana hangat yang selalu dinanti-nanti mengingat perkuliahan offline hanya seminggu sekali, waktu yang pas untuk melepas penat mingguan karena padatnya tugas-tugas E-Learning. Tempat biasa kami berlomba hasil quizGood or Bad, dari para prof. Meski rata-rata jawaban adalah copas di internet, ahh yang penting gue dapat Good.

Selepas sholat kami biasanya nongki didepan kelas. Tiap kelas tersedia tempat duduk yang sangat Cafe Style didepannya, didukung suasana kampus yang modern-klasik, terkesan komplek hunian yang mewah, memang menggoda untuk ditongkrongi.

Satu persatu meninggalkan wifi corner, kembali kedepan kelas, nampaknya sudah berlangsung pembahasan yang cukup serius. Suasana tenang, salah seorang teman berbicara dan yang lain menyimak dengan sangat serius. "Kelas berikutnya sudah dimulai ya ? Maaf kami telat prof," Kataku yang kemudian disambut tawa teman-teman lainnya. Suasana yang amat hangat.

Teman kami melanjutkan pemaparannya selepas tawa yang mulai mereda dan kembali mengkhusyukkan suasana. Nampaknya yang dipaparkan adalah soal "Rasionalitas Ekonomi", tema yang memang sering menjadi sumber perdebatan dikelas Corporate Financial Strategic kami yang diampu oleh dosen alumni Doktor bidang Manajemen Keuangan Universitas Indonesia.

Inti pemaparannya adalah kepuasan terhadap skema pergerakan nilai suku bunga yang menguntungkan bagi bisnisnya, karena kebetulan disamping kuliah, dia juga merintis usaha properti yang setiap waktu mendapat asupan informasi terkait pergerakan nilai suku bunga dari istri yang kebetulan berprofesi sebagai manajer salah satu bank konvesional cabang Jakarta Selatan.

"Itulah rasionalitas" tegasnya, menggambarkan bagaimana bisnis investasi propertinya yang bergantung pada pergerakan nilai suku bunga selalu dapat nomplok.

Suara-suara pembenaran pun satu per satu terdengar dari teman lainnya. Saya ikut bersuara, mencoba masuk lebih dalam ke hangatnya diskusi. Saya awali dengan sedikit intro, "jadi seperti itu pak ya, semoga sukses kami do'akan selalu, cuman saya masih bertanya-tanya, jika kita bicara soal rasionalitas, tentu kita bicara soal logika sebab akibat, dalam hal ini sebab akibat munculnya atau dengan kata lain ditetapkannya persentasi nilai (suku bunga) adalah sekian, hari ini 5%, besok atau lusa bisa 7% dan seterusnya bergerak tak menentu. Pertanyaan saya selama ini adalah dasar argumentasi logisnya apa dari penetapan nilai 1%, 2% dan seterusnya itu ? Apa alasan yang masuk akal ? Beda hal kalau kita berbicara soal margin kontribusi dari sebuah produk kan ? Soal bunga ini gimana ya pak/bu ? Saya selama ini belum menemukan jawaban yang memuaskan."

Selama ini yang kita ketahui bahwa alasan dijadikannya bunga sebagai margin keuntungan transaksi pinjam meminjam adalah karena pemahaman bahwa memberikan pinjaman uang itu berarti menunda kesempatan kita untuk memanfaatkan nilai uang yang kita miliki, sehingga harus ada "ongkos tunda", itulah yang kita kenal sebagai bunga, sederhananya seperti itu.

Namun jika kita berbicara soal rasionalitas ekonomi, maka diharuskan ada alasan matematis yang logis, misal : harga satu produk, misal telepon genggam, dipasaran adalah 1 juta karena untuk jadi 1 produk duperlukan "ongkos" produksi atau dalam dunia ekonomi disebut variabel cost dan setelah jadi dibutuhkan biaya distribusi agar sampai ke tangan konsumen, kalkulasi dari semua itu jadilah rata-rata ongkos untuk satu telepon genggam adalah misal 900 ribu, dan ditambah nilai Break Event Point atau disingkat BEP agar siklus produksi tetap terjaga dikondisi aman agar tidak bankrupt. Kalau seperti itu jelas masuk akal penetapan nilai satu telepon genggam.

Mengenai persentasi bunga sampai saat ini saya pribadi belum menemukan alasan logis dibalik penetapan naik turun persentasi nulainya. Padahal telah digunakan berabad-abad dan sampai detik ini selalu menyengsarakan pelaku ekonomi khususnya kalangan menengah ke bawah. Kurang lebihnya itu dasar argumentasi saya menanggapi pemaparan dari teman itu.

Argumentasi saya pun ditanggapi. Namun tidak seperti yang saya harapkan dalam sebuah discuss. Suasana tiba-tiba berubah. Raut wajah yang semangat dari teman itu berubah kecut. Dan tidak ada kata atau kalimat tanggapan, yang ada adalah ekspresi wajah yang tidak enak dilihat. Ada apa ? Sampai kemudian beberapa teman mulai menunjukkan sikap ingin mengakhiri "nongkrong" itu dan beberapa teman yang lain mulai membahas hal lain diluar topik pembahasan. Kembali ke sesi basa basi yang dingin. Sampai akhirnya benar-benar berakhir diskusi itu.

Hal yang saya garis bawahi adalah "obyektifitas" saat diskusi keilmuan dalam lingkungan kampus. Ciri khas ilmu pengetahuan itu adalah obyektifitas. Kondisi yang mengharuskan kita menanggalkan perasaan pribadi dan keberanian menerima kebenaran serta mengakui kesalahan agar unsur kebenaran dari sebuah ilmu itu nyata muncul.

Yang terjadi diatas bagi saya menunjukkan hilangnya ciri khas itu. Ketika diskusi menyentuh hal yang berkaitan dengan privasi seorang teman, dia kemudian menunjukkan ketidakterimaannya terhadap apa yang didiskusikan. Sebagai orang yang menekuni dunia akademisi, tidak seharusnya bersikap seperti itu.

Dunia kampus adalah dunia diskusi, wadah dimana sebuah ilmu itu dikuliti. Ilmu harus menjadi pedoman untuk kehidupan yang benar bagi manusia. Bukan sebaliknya, menjadi alat untuk menghidupi diri sendiri.

Sementara cukup sampai disini dulu. Tulisan-tulisan berikutnya akan kembali membahas hal yang serupa. Tentang realitas masa kini didalam dunia kampus, khususnya terkait dengan pentingnya diskusi ilmiah dalam kampus sebagai wadah pembedah keilmuan.

Salam Mahasiswa...


No comments:

Post a Comment