Showing posts with label IPA. Show all posts
Showing posts with label IPA. Show all posts

Wednesday, October 12, 2016

ASPARAGUS





Tanaman ini asli Eropa dan Asia. Ditemukan tumbuh liar di Eropa, Afrika Barat Laut, Asia ke Timur sampai Iran. Dibudidayakan lebih dari 2000 tahun lalu dan digunakan sebagai makanan dan obat-obatan oleh bangsa Yunani dan Roma. Ada dua jenis rebung Asparagus, yaitu yang berwarna putih dan yang berwarna hijau. Bagian yang dikonsumsi adalah rebung muda. Asparagus penghasil rebung, sebenarnya juga sudah sejak jaman Belanda tumbuh di kawasan dataran tinggi, namun fungsinya untuk dipanen daunnya sebagai tanaman hias. Sebenarnya, Asparagus yang ditanam untuk diambil daunnya, adalah jenis Asparagus setactus yang merambat. Asparagus jenis ini banyak ditanam di teras rumah dan dirambatkan dengan tali, kawat atau kayu. Selain itu masih ada Asparagus densiflorus dan Asparagus umbellatus yang banyak dijadikan elemen taman karena bentuk tajuknya yang tebal dan indah mirip ekor tupai. Juga Asparagus falcatus yang daunnya besar-besar hingga sepintas tidak tampak sebagai Asparagus. Asparagus setaceus ini disebut juga dengan Asparagus officinalis yang merupakan tanaman penghasil rebung. Tanaman Asparagus (Asparagus officinalis), merupakan tanaman tahunan. Asparagus memiliki batang dalam tanah (rizoma), yang akan menumbuhkan rebung. Sementara “batang” yang tampak di luar tanah merupakan tempat tumbuhnya cabang, ranting dan daun. Daun Asparagus berbentuk jarum. Sepintas tanaman Asparagus penghasil rebung ini mirip dengan cemara. Namun tinggi tanaman hanya sekitar 1 m, dengan diameter batang hanya 1 cm. Di Indonesia, Asparagus cocok dibudidayakan pada lahan dengan ketinggian antara 600 sd. 1700 m. dpl. Pembibitan Asparagus dapat dilakukan secara vegetatif dengan kultur jaringan, anakan yang berasal dari tunas maupun setek, serta secara generatif dari biji. Asparagus menyimpan banyak manfaat kesehatan untuk tubuh. Berikut manfaat kesehatan dari asparagus, seperti dikutip dari laman Shine:
1. Kaya nutrisi
Asparagus mengandung banyak nutrisi, kaya serat, folat, vitamin A, C, E dan K, serta chromium, dan mineral yang meningkatkan kemampuan insulin untuk mengangkut glukosa dari aliran darah ke dalam sel.
2. Memiliki zat antikanker
Merupakan sumber sangat kaya glutation, suatu senyawa detoksifikasi yang membantu memecah karsinogen dan senyawa berbahaya lainnya seperti radikal bebas. Inilah sebabnya mengapa konsumsi asparagus dapat membantu melindungi dan melawan bentuk-bentuk kanker tertentu, seperti tulang, payudara, laring usus, dan kanker paru-paru.
3. Kaya antioksidan
Antioksidan dalam asparagus menduduki peringkat teratas di antara buah-buahan dan sayuran karena kemampuannya untuk menetralisir radikal bebas yang merusak sel. Ini, menurut penelitian pendahuluan, dapat membantu memperlambat proses penuaan.

4. Memiliki sifat antipenuaan
Karena memiliki sifat anti penuaan, asparagus sering dijadikan menu vegetarian yang lezat . Tak hanya itu, asparagus dapat membantu otak kita untuk memerangi penurunan kognitif.
Seperti sayuran hijau pada umumnya, asparagus mengandung folat, yang bekerja dengan vitamin B12 yang biasa ditemukan pada ikan, daging unggas, dan susu untuk membantu mencegah kerusakan kognitif.
Dalam sebuah studi dari Tufts University, orang dewasa dengan tingkat sehat folat dan B12 dilakukan uji kecepatan, hasilnya, mereka yang mengasup folat sehat dan B12 memiliki respon uji kecepatan lebih baik dan fleksibilitas mental yang baik.
5. Diuretik alami
Salah satu manfaat lebih dari asparagus mengandung tingkat tinggi asparagin asam amino, yang berfungsi sebagai diuretik alami. Meningkatkan buang air kecil tidak hanya melepaskan cairan tetapi membantu membersihkan tubuh dari kelebihan garam.
Hal ini sangat bermanfaat bagi orang yang menderita edema (akumulasi cairan dalam jaringan tubuh) dan mereka yang memiliki tekanan darah tinggi atau penyakit jantung. Namun, perlu Anda tahu, mengonsumsi asparagus bisa menyebabkan bau urin yang kuat.
Demi mengasup manfaat asparagus secara maksimal, ada tips memasak agar nutrisi dan antioksidan di dalamnya tidak hilang. Memasak dengan cara dipanggang atau ditumis tanpa air bisa menjaga kandungan antioksidan dalam asparagus. Dan nikmati asparagus tanpa garam, mentega atau saus untuk mendapatkan hasil maksimal dari sifat diuretik. Sebab, garam dapat menyebabkan retensi air pada beberapa orang

Tuesday, October 4, 2016

Kenali Jenis-Jenis Cuaca dan Iklim

[​IMG] 

Aneka jenis cuaca dan iklim tertentu di suatu lokasi tergantung jangka periode tertentu pula. Perubahan suasana udara di seputar kita dipengaruhi musim yang berubah dalam bulan tertentu setiap tahunnya. Studi yang menyurvei cuaca ialah meteorology. 

Ada beberapa macam-macam cuaca yang timbul di bumi ini, diantaranya ialah:

1. Cuaca Benderang
Cuaca Cemerlang berarti matahari bersinar tampak dan keadaan terasa hangat atau tidak begitu terasa hot. Umumnya, hujan tidak akan turun saat cuaca cerah. Angin berhembus semilir. 

Pada siang hari, terlihat awan yang berlapis-lapis minim, seperti kapas yang berwarna putih bersih. Pada matahari timbul dan terbenam, terdapat warna merah atau kuning cerah. Saat malam hari, terdapat bintang terhampar di langit.

2. Cuaca Panas
Udara terasa panas saat cuaca panas. Alasan yang mengakibatkan udara panas adalah cahaya matahari. Saat siang hari, cahaya matahari jauh tegak lurus ke bumi sehingga terasa kering menusuk. 

Ketinggian juga memicu udara di suatu wilayah terasa kering. Semakin tinggi suatu wilayah, temperatur udaranya semakin surut. Inilah alasannya, suhu di tempat pantai terasa kering, namun di pegunungan terasa dingin.

3. Cuaca Berawan
Pada langit terlihat beberapa awan, keadaan macam ini dinamakan cuaca berawan. Cahaya matahari tidak begitu terasa panas alasannya adalah tersekat oleh awan. Sejumlah awan bisa berkumpul sehingga akan terbentuk awan yang besar. Awan besar itu dapat berubah menjadi agak gelap. Jika daerah di sekitarnya mendukung, mendung dapat berubah menjadi hujan.

4. Cuaca Sejuk
Suatu lokasi mengalami cuaca adem apabila kelembapan udara tinggi, angin bergerak cepat, dan suhu udara rendah.

5. Cuaca Hujan
Hujan berasal dari udara yang mengandung uap air. Uap air terjadi karena adanya pemanasan matahari terhadap air di permukaan bumi, misalnya air kolam, air danau, air laut dan air sungai. Udara tersebut naik ke atas dan membentuk awan. Semakin ke atas, suhu uap air menjadi semakin rendah. Pada mencapai suhu tertentu, uap air akan mengembun menjadi titik-titik air. 

Titik- titik air berubah menjadi tetesan air. Semakin lama tetes-tetes air, makin banyak dan kemudian turun ke bumi dalam bentuk hujan. Hujan yang turun dengan kencang selalu diikuti angin besar, ialah angin kencang disertai geluduh dan kilat. Angin puyuh dapat mengakibatkan keburukan serius di bumi.

6. Cuaca Berangin
Angin berdesir lebat sehingga menaikkan benda-benda ringan yang dilaluinya. Jika angin berhembus sangat kuat, pohon dan gedung akan hancur. Ritme angin dapat dihitung dengan anemometer. Saat cuaca berangin, langit umumnya sedikit mendung dan temperatur udara rendah. Suasana cuaca pada umumnya dideskripsikan menggunakan simbol-simbol cuaca.

Sunday, October 2, 2016

Cara Menggunakan Mikroskop dengan Baik dan Benar

a. Memanage Posisi Mikroskop

1) Mikroskop ditempatkan dengan hati-hati di atas meja yang terjangkau badan pengamat (tidak terlalu ke tepi atau ke tengah).

2) Mikroskop diarah kemiringannya (jika perlu) dengan memutar sambungan inklinasi. Hal itu bertujuan agar pengamat enak melakukan pengamatan dalam waktu yang lama.

b. Mengatur Pencahayaan

1) Mikroskop dengan sumber cahaya matahari, lebih baik ditempatkan di atas meja dekat jendela. Jangan menempatkan mikroskop di bawah sinar matahari langsung.

2) Mikroskop dengan sumber cahaya lampu dari luar dipakai dengan memasang lampu 15 cm di muka mikroskop.

3) Mikroskop dengan sumber cahaya tetap di dasar alat lebih mudah diterapkan dengan cara memencet tombol untuk menyalakan lampu.

4) Banyak sedikitnya cahaya yang masuk ke mata pengamat dan untuk menerangi objek diatur dengan memutar tombol pengatur diafragma. Makin lebar lubang diafragma, makin banyak jumlah cahaya yang masuk, begitu juga sebaliknya.

c. Mencari Objek

1) Tempatkan preparat (sediaan bahan/spesimen) di atas meja mikroskop, tepat di atas lubang. Tekan slide dengan penjepit. Pada saat itu, tempat tabung berada pada jarak terjauh dengan meja mikroskop.

2) Pasanglah dengan benar sampai terdengar bunyi "klik".

3) Turunkan tabung sampai berjarak 1 cm dari atas objek dengan pemutar kasar. (Sewaktu melakukan hal ini, jangan mengintipnya pada lensa okuler lebih dahulu).

4) Letakkan lampu di depan kaca, apabila memakai sumber cahaya dari luar. Letakkan mikroskop dekat jendela, kalau menggunakan sinar matahari. Pencet tombol untuk menghidupkan lampu, apabila mikroskop sudah dipasangi lampu.

5) Manage banyaknya sinar yang masuk dengan membuka diafragma iris dan mengatur kaca (jika perlu).

6) Lihatlah melalui lubang pengamat. Gunakan objek yang jelas dengan memutar tombol pemutar halus naik atau turun.

7) Setelah diperoleh objek dengan bidang pandang yang jelas, putarlah cakram mikroskop untuk mengarahkan lensa objektif perbesaran kuat tepat di atas objek.

8) Agar diperoleh pandangan yang jelas, atur kembali melewati pemutar halus, sambil mengamati melalui lubang pengintai.

d. Menyiapkan preparat

Objek-objek berukuran kecil dapat langsung dilihat di bawah mikroskop. Tetapi, untuk objek berukuran besar anda harus mengambil sebagaian dari objek itu. Objek yang dilihat itu selanjutnya diwujudkan dalam sebuah preparat.

Spesimen adalah sediaan bahan yang akan diamati. Spesimen dikategorikan menjadi dua, yaitu spesimen basah dan preparat kering. Pembuatan spesimen memerlukan alat berupa kaca benda (slide), kaca penutup, objek pengamatan, dan medium.

Media yang digunakan disesuaikan dengan tujuannya, antara lain air, gliserin. Air digunakan sebagai medium bagi mikroorganisme air yang ingin dilihat gerakannya. Pewarna dipakai sebagai media bagi objek yang ingin diteliti bagian-bagiannya.

Jenis pewarna disesuaikan dengan kebutuhan. Bagian jaringan yang akan diamati sajalah yang diharapkan akan menampung pewarna tertentu dan memberikan warna mencolok dengan struktur lain di sekitarnya.

Gliserin dipakai sebagai medium untuk meneliti objek yang akan diperbesar dengan lensa berkekuatan tinggi. Media yang diteteskan di atas kaca benda tidak terlalu banyak atau terlalu sedikit, cukup untuk menenggelamkan objek.

Spesimen dibuat dengan mengiris bahan setipis mungkin, membujur. Spesimen diposisikan di atas cermin benda tepat di tengah dengan memakai pinset.

Di atas preparat, ditetesi media dengan memakai pipet. Selanjutnya, spesimen ditutup dengan kaca penutup. Salah satu sisi kaca dipencet perlahan dengan jari, sedangkan bagian yang lain diturunkan perlahan-lahan dengan jarum.

Friday, September 30, 2016

Fenomena Analema yang Dilakukan Oleh Matahari

Gerak semu Matahari di langit sangatlah rumit.

Tentu, Anda mungkin berpikir gerak semu matahari itu sederhana: terbit di timur, kemudian meninggi di langit, dan terbenam di barat. Itu agak agak benar secara keseluruhan, tetapi jika Anda memperhatikan lebih dekat Anda akan melihat bahwa itu hanya sebagian benar. Matahari terbit lebih awal setiap hari sampai musim panas, kemudian mulai terbit lebih lambat. Matahari lebih tinggi di musim panas, dan tidak terbit persis di timur. Dan matahari sampai ke titik tertinggi di langit pada waktu yang berbeda setiap hari.

Namun hal-hal yang disebutkan diatas sangat sulit untuk diamati, karena perubahan dari hari keharinya sangatlah kecil. Tetapi jika kita pergi ke luar setiap beberapa minggu di tempat yang sama, pada jam yang sama, dan mengambil gambar dari Matahari, perubahannya akan teramati dengan jelas seperti video dan foto dibawah ini:




Ini adalah figur angka 8 yang dibentuk oleh posisi-posisi matahari pada waktu yang sama selama satu tahun, yang disebut analemma, dan mungkin tampak akrab bagi Anda, karena gambar ini kadang-kadang dicetak dalam atlas dan globe.

Jadi apa yang menyebabkan gerak matahari yang aneh ini? 'Kesalahan' bukan terletak pada matahari, tetapi pada Bumi. Ada beberapa situs web besar yang menjelaskan fenomena ini secara rinci. Tapi ijinkan AMJG memberi Anda sedikit gambaran tentang fenomena ini.

Jika Bumi mengorbit Matahari dalam lingkaran sempurna, dan sumbu Bumi tidak miring (dengan kata lain, sumbu Bumi lurus ke atas-dan-bawah, pada sudut 90 ° terhadap bidang orbitnya), Matahari masih tetap akan terbit dan tenggelam, tapi matahari akan mengambil jalan yang sama di langit pada waktu yang sama, setiap hari, sepanjang tahun. Jika kita mengambil gambar matahari pada jam 12 siang di bulan Januari, dan jam 12 siang di bulan Juni, Matahari akan berada persis di tempat yang sama. Matahari juga akan terbit di timur, dan tenggelam di barat, selalu pada saat yang sama, setiap hari.


Tapi hal diatas tidak terjadi. Sumbu Bumi miring sekitar 23,4 ° terhadap bidang orbit. Kemiringan sumbu bumi lah yang membuat analemma berbentuk angka 8.

Pada soltis (titik balik matahari) musim panas, kutub utara bumi miring menghadap Matahari. Di belahan bumi utara, ini berarti Matahari tinggi di langit pada siang hari. Tapi di musim dingin, ketika Bumi berada di sisi lain dari orbitnya, kutub utara bumi miring menjauh dari Matahari, sehingga pada siang hari matahari tidak akan setinggi musim panas. Perbedaan antara titik tertinggi dan terendah di langit pada siang hari dua kali kemiringan bumi, atau kira-kira 47 °. Jika pada siang hari pada tanggal 22 Juni Matahari tepat di atas kepala kita, enam bulan kemudian pada siang hari posisi matahari akan bergeser 47 ° dari atas kepala kita, atau 90 ° - 47 ° = 43 ° di atas cakrawala.


Demikian juga jika kita mengukur ketinggian matahari di atas cakrawala selatan setiap hari pada waktu yang sama, perubahan ketinggian posisi matahari juga terjadi. Di musim panas matahari akan lebih tinggi daripada di musim dingin. Dan itulah mengapa analemma ini diperpanjang ke arah utara-selatan.

Bumi mengelilingi matahari bukan pada orbit lingkaran tetapi pada orbit yang elips. Ini berarti bahwa pada bulan Januari kita sedikit lebih dekat ke Matahari, dan pada bulan Juli kita lebih jauh. Ketika Bumi lebih dekat ke Matahari, bumi akan mengorbit lebih cepat, dan ketika jauh, bumi mengorbit lebih lambat.


Setengah tahun Matahari bergerak sedikit lebih cepat ke barat, dan setengah tahun matahari bergerak lebih lambat. Jadi, jika kita pergi ke luar pada waktu yang sama setiap hari dan mengambil gambar dari Matahari, kita akan melihatnya melayang ke barat setengah tahun, dan ke sebelah timur setengah tahun lainnya.

Inilah yang membuat dua lingkaran (lobe) pada angka 8 analemma tidak sama besarnya. Jika orbit bumi adalah lingkaran namun sumbu bumi tetap miring 23,4 °, maka analemma tetap akan berbentuk angka 8 namun dengan dua lingkaran yang sama besarnya.


Jadi ringkasannya adalah:
1. Kemiringan sumbu bumi yang menyebabkan analemma berbentuk angka 8.
dan
2. Orbit bumi yang berbentuk elips yang menyebabkan bentuk angka 8 tidak memiliki lingkaran yang sama besar.


Nah, tersisa satu pertanyaan lagi: Bagaimana jika sumbu bumi tidak miring, namun orbit bumi tetap berbentuk elips? Jawabannya adalah: analemma akan berbentuk angka 0. Ada artikel yang menarik dan lebih detil mengenai semua ini dan bisa anda download disin



Tapi mungkin anda akan bertanya lagi, apakah analemma juga terjadi di planet-planet lain di tata surya kita? Jawabannya adalah Ya! Dan bentuk analemma mereka juga bergantung pada kemiringan sumbu dan orbit mereka.

Jika eksentrisitas (ke-elips-an) orbit lebih dominan dari kemiringan sumbunya (seperti halnya di Mars), analemma akan berbentuk tetesan air. Jika eksentrisitas nya sangat signifikan dan kemiringan sumbunya praktis nol (seperti halnya pada Jupiter, dengan kemiringan 3 derajat saja), maka analemmanya berbentuk 0. Dan jika dua-duanya cukup signifikan, maka analemma akan berbentuk angaka 8.

Dalam daftar berikut, "Hari" dan "Tahun" mengacu pada hari synodic dan tahun sidereal dari masing-masing planet:


Simulasi analemma Mars
Merkurius: Karena resonansi orbital nya, 1 hari di Merkurius (siang ke siang) lamanya adalah 176 hari bumi. maka metode merencanakan posisi Matahari pada waktu yang sama setiap hari akan menghasilkan hanya satu titik, jadi metode melihat analemma tentu berbeda dengan bumi. analemma diplanet ini adalah garis lurus dalam arah timur-barat.

Venus: Planet Venus butuh waktu 243 hari bumi untuk berotasi satu putaran, jadi satu tahun bumi adalah 2 hari kurang di Venus, sehingga butuh beberapa tahun untuk mengumpulkan posisi-posisi matahari agar membentuk analemma lengkap dengan metode biasa. Kurva yang dihasilkan adalah elips.

Mars: Analemma di Mars berbentuk Tetes Air

Jupiter: Analemma Jupiter berbentuk Elips

Saturnus: Secara teknis bentuk analemmanya adalah angka 8, tapi lingkaran yang sebelah utara sangat kecil sehingga lebih mirip tetes air.


Uranus: Analemma di Uranus berbentuk angka 8 (Uranus sumbunya sangat miring dengan sudut 98 derajat Orbitnya elips seperti Jupiter dan lebih elips daripada Bumi..)

Analemma memang menarik, dan bukan hanya karena ini adalah ilmu. Ini adalah sesuatu yang menakjubkan dan mengingatkan kita bahwa kita sering menganggap sesuatu itu hal yang biasa, karena kita melihatnya terjadi setiap hari, padahal kita kehilangan banyak detail indah ketika kita fokus pada sesuatu itu di satu tempat dan di satu saat. Seluruh alam semesta bergerak, berputar dan meluncur disekitar kita, diatas kepala kita dan di bawah kaki kita. Jika kita tidak memperhatikan atau tidak 'membaca' nya, kita akan kehilangan semua keindahannya.



Pegunungan Tertinggi Dalam Sistem Tata Surya

1. Pegunungan Maxwell



Maxwell adalah titik tertinggi di permukaan planet Venus yang tingginya 11.000 m. Terletak di dataran tinggi utara Ishtar Terra, yang asal usulnya berasal dari sabuk pegunungan yang masih kontroversi mengenai awal mula terbentuknya. Maxwell ditemukan pertama kali pada tahun 1967 oleh para ilmuwan di Radio Telescope Amerika Arecibo di Puerto Rico. Gunung ini dinamai setelah matematikawan dan seorang dokter bernama James Clerk Maxwell yang bekerja menggunakan gelombang radio yang dibuat oleh radar dan akhirnya dapat megeksplorasi wilayah permukaan Planet Venus.

2. Bubungan Khatulistiwa



Terletak di belahan bumi yang gelap dari satelit terbesar ketiga, Lapetus di Planet Saturnus, Bubungan Khatulistiwa terdapat di sepanjang belahan tengah yang terisolasi beberapa puncak setinggi 20 km. Bubungan Equatorial ini ditemukan oleh pesawat ruang angkasa Cassini pada tanggal 31 Desember 2004. Pembentukan punggungan masih diperdebatkan para ilmuwan, namun telah disepakati bahwa bubungan kuno ini terbentuk karena permukaan yang berkawah-kawah. Tonjolan yang sangat mencolok dari punggungan ini membentuk satelit Lapetus seperti buah kenari.

3. Olympus Mons



Sejauh ini gunung tertinggi yang pernah ditemukan di tata surya kita adalah gunung Olympus Mons yang tingginya 24 km di atas sebuah dataran halus di Planet Mars. Tingginya sekitar tiga kali lebih tinggi dari Gunung Everest. Olympus Mons ditemukan saat penyelidikan ruang angkasa Amerika Serikat, Mariner 9, pada tahun 1971 ketika ia mengirimkan gambar empat gunung vulkanik besar. Perlu dikethui bahwa bagian perisai dari Olympus Mons ukurannya sama dengan gunung Mauna Kea di Bumi. Ketinggian yang luar biasa dari Olympus Mons berakibat tidak adanya pergerakan lempeng tektonik yang memungkinkan gunung untuk tetap pada tempatnya. Lava gunung terus mengalir sampai mencapai ketinggian yang cukup. Dasar gunung terus menerus turun sedalam 2 km jauh ke arah kerak setiap tahunnya, hal ini disebabkan karena adanya tekanan yang sangat besar menekan kerak Planet Mars.

4. Mauna Kea



Mauna Kea adalah gunung berapi aktif terbesar yang terletak di sebelah utara Pulau Hawaii, sekitar 43 km barat laut dari Hilo. Ketinggiannya 4205 m di atas permukaan laut, Mauna Kea menghujam ke wilayah laut sedalam 5547 km ke arah dasar laut. Jadi, jika dihitung dari dasar laut ke puncak gunung maka Mauna Kea adalah yang tertinggi di Bumi. Terakhir kali Mauna Kea aktif lebih dari 4000 tahun yang lalu. Pada puncaknya terdapat salju yang mengerucut dan biasa digunakan untuk bermain ski serta wilayah ini termasuk dalam situs Observatorium Mauna Kea yang merupakan observatorium astronomi tertinggi di dunia. Pada lereng bagian atas gunung terdapat gua tempat orang Hawaii kuno menggali basal untuk membuat peralatan. Lereng bawah gunung biasa digunakan untuk peternakan sapi dan perkebunan kopi. Gunung ini dianggap dalam legenda Hawaii sebagai rumah dari Dewi Poliahu, dewi api Mauna Kea.

5. Gunung Everest



Gunung Everest adalah gunung tertinggi di bumi yang terdapat di pegunungan Himalaya timur antara Nepal dan Tibet. Gunung Everest adalah sebuah gunung kapur muda yang belum terkena oleh erosi dan memiliki dua puncak, salah satunya mencapai ketinggian 8848 m. Everest selalu tertutup salju kecuali bagian yang terkena angin kencang. Banyak terdapat gletser yang meningkat dekat dasar Gunung Everest. Everest adalah nama yang diberikan pada gunung ini tahun 1865 untuk menghormati Sir George Everest, seorang surveyor Inggris di India yang menemukan lokasi gunung dan memperkirakan ketinggian gunung. Dalam bahasa Tibet diberi nama Chomolungma yang artinya “ibu dewi dunia”.

6. K-2



K-2 adalah gunung tertinggi kedua di dunia. K-2 atau Godwin Austin memiliki ketinggian puncak 8611 m di atas permukaan laut dan terletak di barat laut wilayah Karakoram. Dikenal sebagai gunung yang buas karena tingkat kematian yang tinggi saat dilakukan pendakian. K-2 terletak di perbatasan Cina dan Pakistan. Karena hampir tidak mungkin untuk melakukan pendakian K-2 dari wilayah China, maka banyak pendaki gunung melakukannya dari wilayah Pakistan. Satu fakta menarik tentang K-2 adalah bahwa tidak ada yang pernah mencoba untuk mendaki puncak selama musim dingin karena sangat berbahaya.

Sunday, April 3, 2011

Climate change

Climate change

Climate change is a change in the statistical distribution of weather over periods of time that range from decades to millions of years. It can be a change in the average weather or a change in the distribution of weather events around an average (for example, greater or fewer extreme weather events). Climate change may be limited to a specific region, or may occur across the whole Earth.
In recent usage, especially in the context of environmental policy, climate change usually refers to changes in modern climate (see global warming). For information on temperature measurements over various periods, and the data sources available, see temperature record. For attribution of climate change over the past century, see attribution of recent climate change.

Causes

Factors that can shape climate are often called climate forcings. These include such processes as variations in solar radiation, deviations in the Earth's orbit, mountain-building and continental drift, and changes in greenhouse gas concentrations. There are a variety of climate change feedbacks that can either amplify or diminish the initial forcing. Some parts of the climate system, such as the oceans and ice caps, respond slowly in reaction to climate forcing because of their large mass. Therefore, the climate system can take centuries or longer to fully respond to new external force.

Plate tectonics

Over the course of millions of years, the motion of tectonic plates reconfigures global land and ocean areas and generates topography. This can affect both global and local patterns of climate and atmosphere-ocean circulation.
The position of the continents determines the geometry of the oceans and therefore influences patterns of ocean circulation. The locations of the seas are important in controlling the transfer of heat and moisture across the globe, and therefore, in determining global climate. A recent example of tectonic control on ocean circulation is the formation of the Isthmus of Panama about 5 million years ago, which shut off direct mixing between the Atlantic and Pacific Oceans. This strongly affected the ocean dynamics of what is now the Gulf Stream and may have led to Northern Hemisphere ice cover. Earlier, during the Carboniferous period, plate tectonics may have triggered the large-scale storage of carbon and increased glaciation. Geologic evidence points to a "megamonsoonal" circulation pattern during the time of the supercontinent Pangaea, and climate modeling suggests that the existence of the supercontinent was conductive to the establishment of monsoons.
More locally, topography can influence climate. The existence of mountains (as a product of plate tectonics through mountain-building) can cause orographic precipitation. Humidity generally decreases and diurnal temperature swings generally increase with increasing elevation. Mean temperature and the length of the growing season also decrease with increasing elevation. This, along with orographic precipitation, is important for the existence of low-latitude alpine glaciers and the varied flora and fauna along at different elevations in montane ecosystems.
The size of continents is also important. Because of the stabilizing effect of the oceans on temperature, yearly temperature variations are generally lower in coastal areas than they are inland. A larger supercontinent will therefore have more area in which climate is strongly seasonal than will several smaller continents and/or island arcs.

Solar output

Main article: Solar variation

Variations in solar activity during the last several centuries based on observations of sunspots and beryllium isotopes.
The sun is the predominant source for energy input to the Earth. Both long- and short-term variations in solar intensity are known to affect global climate.
Early in Earth's history the sun emitted only 70% as much power as it does today. With the same atmospheric composition as exists today, liquid water should not have existed on Earth. However, there is evidence for the presence of water on the early Earth, in the Hadean and Archean eons, leading to what is known as the faint young sun paradox. Hypothesized solutions to this paradox include a vastly different atmosphere, with much higher concentrations of greenhouse gases than currently exist Over the following approximately 4 billion years, the energy output of the sun increased and atmospheric composition changed, with the oxygenation of the atmosphere being the most notable alteration. The luminosity of the sun will continue to increase as it follows the main sequence. These changes in luminosity, and the sun's ultimate death as it becomes a red giant and then a white dwarf, will have large effects on climate, with the red giant phase possibly ending life on Earth.
Solar output also varies on shorter time scales, including the 11-year solar cycle and longer-term modulations. The 11-year sunspot cycle produces low-latitude warming and high-latitude cooling over limited areas of statistical significance in the stratosphere with an amplitude of approximately 1.5°C. But although "variability associated with the 11-yr solar cycle has a significant influence on stratospheric temperatures. ...there is still no consensus on the exact magnitude and spatial structure". These stratospheric variations are consistent with the idea that excess equatorial heating can drive thermal winds. In the near-surface troposphere, there is only a small change in temperature (on the order of a tenth of a degree, and only statistically significant in limited areas underneath the peaks in stratospheric zonal wind speed) due to the 11-year solar cycle. Solar intensity variations are considered to have been influential in triggering the Little Ice Age, and for some of the warming observed from 1900 to 1950. The cyclical nature of the sun's energy output is not yet fully understood; it differs from the very slow change that is happening within the sun as it ages and evolves, with some studies pointing toward solar radiation increases from cyclical sunspot activity affecting global warming.

Orbital variations

Slight variations in Earth's orbit lead to changes in the amount of sunlight reaching the Earth's surface and how it is distributed across the globe. The former is similar to solar variations in that there is a change to the power input from the sun to the Earth system. The latter is due to how the orbital variations affect when and where sunlight is received by the Earth. The three types of orbital variations are variations in Earth's eccentricity, changes in the tilt angle of Earth's axis of rotation, and precession of Earth's axis. Combined together, these produce Milankovitch cycles which have a large impact on climate and are notable for their correlation to glacial and interglacial periods, their correlation with the advance and retreat of the Sahara, and for their appearance in the stratigraphic record.

Volcanism

Volcanism is a process of conveying material from the crust and mantle of the Earth to its surface. Volcanic eruptions, geysers, and hot springs, are examples of volcanic processes which release gases and/or particulates into the atmosphere.
Eruptions large enough to affect climate occur on average several times per century, and cause cooling (by partially blocking the transmission of solar radiation to the Earth's surface) for a period of a few years. The eruption of Mount Pinatubo in 1991, the second largest terrestrial eruption of the 20th century (after the 1912 eruption of Novarupta) affected the climate substantially. Global temperatures decreased by about 0.5 °C (0.9 °F). The eruption of Mount Tambora in 1815 caused the Year Without a Summer. Much larger eruptions, known as large igneous provinces, occur only a few times every hundred million years, but may cause global warming and mass extinctions.
Volcanoes are also part of the extended carbon cycle. Over very long (geological) time periods, they release carbon dioxide from the Earth's crust and mantle, counteracting the uptake by sedimentary rocks and other geological carbon dioxide sinks. According to the US Geological Survey, however, estimates are that human activities generate more than 130 times the amount of carbon dioxide emitted by volcanoes.

Ocean variability


A schematic of modern thermohaline circulation
The ocean is a fundamental part of the climate system. Short-term fluctuations (years to a few decades) such as the El NiƱo–Southern Oscillation, the Pacific decadal oscillation, the North Atlantic oscillation, and the Arctic oscillation, represent climate variability rather than climate change. On longer time scales, alterations to ocean processes such as thermohaline circulation play a key role in redistributing heat by carrying out a very slow and extremely deep movement of water, and the long-term redistribution of heat in the world's oceans.

Human influences

Main article: Global warming
Anthropogenic factors are human activities that change the environment. In some cases the chain of causality of human influence on the climate is direct and unambiguous (for example, the effects of irrigation on local humidity), whilst in other instances it is less clear. Various hypotheses for human-induced climate change have been argued for many years. Presently the scientific consensus on climate change is that human activity is very likely the cause for the rapid increase in global average temperatures over the past several decades. Consequently, the debate has largely shifted onto ways to reduce further human impact and to find ways to adapt to change that has already occurred.
Of most concern in these anthropogenic factors is the increase in CO2 levels due to emissions from fossil fuel combustion, followed by aerosols (particulate matter in the atmosphere) and cement manufacture. Other factors, including land use, ozone depletion, animal agriculture and deforestation, are also of concern in the roles they play - both separately and in conjunction with other factors - in affecting climate.

Physical evidence for climatic change

Evidence for climatic change is taken from a variety of sources that can be used to reconstruct past climates. Reasonably complete global records of surface temperature are available beginning from the mid-late 1800s. For earlier periods, most of the evidence is indirect—climatic changes are inferred from changes in indicators that reflect climate, such as vegetation, ice cores, dendrochronology, sea level change, and glacial geology.

Historical & Archaeological evidence

Climate change in the recent past may be detected by corresponding changes in settlement and agricultural patterns. Archaeological evidence, oral history and historical documents can offer insights into past changes in the climate. Climate change effects have been linked to the collapse of various civilisations.

Glaciers



Variations in CO2, temperature and dust from the Vostok ice core over the last 450,000 years
Glaciers are among the most sensitive indicators of climate change, advancing when climate cools (for example, during the period known as the Little Ice Age) and retreating when climate warms. Glaciers grow and shrink, both contributing to natural variability and amplifying externally forced changes. A world glacier inventory has been compiled since the 1970s. Initially based mainly on aerial photographs and maps, this compilation has resulted in a detailed inventory of more than 100,000 glaciers covering a total area of approximately 240,000 km2 and, in preliminary estimates, for the recording of the remaining ice cover estimated to be around 445,000 km2. The World Glacier Monitoring Service collects data annually on glacier retreat and glacier mass balance From this data, glaciers worldwide have been found to be shrinking significantly, with strong glacier retreats in the 1940s, stable or growing conditions during the 1920s and 1970s, and again retreating from the mid 1980s to present. Mass balance data indicate 17 consecutive years of negative glacier mass balance.

The most significant climate processes since the middle to late Pliocene (approximately 3 million years ago) are the glacial and interglacial cycles. The present interglacial period (the Holocene) has lasted about 11,700 years. Shaped by orbital variations, responses such as the rise and fall of continental ice sheets and significant sea-level changes helped create the climate. Other changes, including Heinrich events, Dansgaard–Oeschger events and the Younger Dryas, however, illustrate how glacial variations may also influence climate without the forcing effect of orbital changes.
Glaciers leave behind moraines that contain a wealth of material - including organic matter that may be accurately dated - recording the periods in which a glacier advanced and retreated. Similarly, by tephrochronological techniques, the lack of glacier cover can be identified by the presence of soil or volcanic tephra horizons whose date of deposit may also be precisely ascertained.

Vegetation

A change in the type, distribution and coverage of vegetation may occur given a change in the climate; this much is obvious. In any given scenario, a mild change in climate may result in increased precipitation and warmth, resulting in improved plant growth and the subsequent sequestration of airborne CO2. Larger, faster or more radical changes, however, may well result in vegetation stress, rapid plant loss and desertification in certain circumstances.

Ice cores

Analysis of ice in a core drilled from a ice sheet such as the Antarctic ice sheet, can be used to show a link between temperature and global sea level variations. The air trapped in bubbles in the ice can also reveal the CO2 variations of the atmosphere from the distant past, well before modern environmental influences. The study of these ice cores has been a significant indicator of the changes in CO2 over many millennia, and continue to provide valuable information about the differences between ancient and modern atmospheric conditions.

Dendrochronology

Dendochronology is the analysis of tree ring growth patterns to determine the age of a tree. From a climate change viewpoint, however, Dendochronology can also indicate the climatic conditions for a given number of years. Wide and thick rings indicate a fertile, well-watered growing period, whilst thin, narrow rings indicate a time of lower rainfall and less-than-ideal growing conditions.

Pollen analysis

Palynology is the study of contemporary and fossil palynomorphs, including pollen. Palynology is used to infer the geographical distribution of plant species, which vary under different climate conditions. Different groups of plants have pollen with distinctive shapes and surface textures, and since the outer surface of pollen is composed of a very resilient material, they resist decay. Changes in the type of pollen found in different sedimentation levels in lakes, bogs or river deltas indicate changes in plant communities; which are dependent on climate conditions.

Insects

Remains of beetles are common in freshwater and land sediments. Different species of beetles tend to be found under different climatic conditions. Given the extensive lineage of beetles whose genetic makeup has not altered significantly over the millennia, knowledge of the present climatic range of the different species, and the age of the sediments in which remains are found, past climatic conditions may be inferred.

Sea level change

Main article: Current sea level rise
Global sea level change for much of the last century has generally been estimated using tide gauge measurements collated over long periods of time to give a long-term average. More recently, altimeter measurements — in combination with accurately determined satellite orbits — have provided an improved measurement of global sea level change.