Showing posts with label Sosial. Show all posts
Showing posts with label Sosial. Show all posts

Friday, June 2, 2023

Macam-Macam Artikel Ilmiah Dan Contohnya

 Macam-Macam Artikel Ilmiah Dan Contohnya


Pengertian Artikel Ilmiah

artikel ilmiah merupakan tulisan dengan bentuk ulasan yang disebut dengan riview article atau artikel penelitian yang kita kenal dengan research article. Semua itu dapat disusun dari sebuah laporan penelitian yang ditulis kembali dalam jurnal, yang selanjutnya dipublikasikan di suatu media.

Bagi kalian yang pernah kuliah, biasanya ada beberapa tugas mata kuliah yang mengharuskan kita untuk membuat sebuah jurnal. Selain jurnal, skripsi diantaranya termasuk dalam contoh artikel ilmiah. Lebih jelasnya, berikut ini yang merupakan contoh artikel ilmiah.

Penelitian

Artikel ilmiah pendidikan

Jurnal

Makalah

PENGERTIAN ARTIKEL ILMIAH BERDASARKAN DEFINISI ARTI DAN MAKNA

Pengertian, definisi, makna, atau arti karya ilmiah atau tulisan ilmiah adalah suatu karya berupa tulisan yang disusun sistematis oleh seorang ilmuwan sesuai dengan kaidah dan ketentuan penulisan karya ilmiah yang ingin mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, baik melalui studi kepustakaan, kumpulan pengalaman, eksperimen (atau uji coba perbobaan tertentu baik di lapangan maupun di laboratorium), atau pengetahuan orang lain sebelumnya. Karya ilmiah merupakan termasuk disiplin ilmu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Bidang-bidang ilmu pengetahuan antara lain : ilmu matematika, fisika, kimia, biologi, bahasa dan sastra Indonesia, ilmu sosial, dan lain-lain.

MACAM-MACAM ARTIKEL ILMIAH YANG SERING DITULIS

Dalam menulis artikel karya ilmiah terdapat jenis-jenis atau macam-macam karya ilmiah, yaitu : makalah, kertas kerja, skripsi, tesis, dan desertasi. Makalah adalah karya tulis ilmiah yang menyajikan sesuatu berdasarkan data di lapangan yang bersifat empiris dan objektif. Pembahasan makalah menggunakan proses dedukti dan induktif. Untuk kertas kerja sama seperti makalah, pembahasan lebih mendalam daripada makalah, serta menyajikan berdasarkan data di lapangan dan bersifat empiris objektif. Skripsi adalah karya ilmiah yang mengemukakan pendapat sendiri berdasarkan pendapat orang lain. Data dan fakta skripsi bersifat empiris-objektif. Penulisnya akan diberi gelar sarjana (S1). Tesis sama seperti skripsi. Tesis menungkapkan ilmu pengetahuan baru yang diperoleh dari penelitian sendiri. Penulisnya akan diberi gelar magister (S2). Desertasi adalah karya tulis ilmiah yang mengemukakan suatu dalil yang bisa dibuktikan dan di uji coba kebenarannya berdasarkan data, fakta, dan analisis yang detail dan rinci. Hasil desertasi berupa penemuan penulis sendiri. Jika penemuan ini bisa dipertahankan, penulisnya akan diberi gelar doktor (S3).

CARA MENULIS ARTIKEL ILMIAH YANG BAIK DAN BENAR

Dalam menulis artikel karya ilmiah harus memperhatikan kaidah atau aturan penulisan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Salah satu contohnya, yaitu struktur di dalam menyusun kalimat yang terdiri dari S (subjek), P (predikat), O (objek), dan K (keterangan) harus benar. Manfaat dari penulisan struktur kalimat yang benar sehingga mudah dibaca dan dipahami oleh setiap orang yang membacanya atau dalam hal ini pembaca. Selain itu, cara menulis kalimat di artikel karya ilmiah atau makalah biasanya berupa kalimat pasif. Di mana, pada kalimat pasif P (predikat) bersifat dilakukan terhadap O (objek). Oleh karena itu, penulisan pada kalimat pasif P (predikat) diawali dengan atau memiliki awalan di-.

SISTEMATIKA PENULISAN ARTIKEL ILMIAH YANG BAIK DAN BENAR

Dalam menulis artikel ilmiah ada sistematika penulisan yang baku. Sistematika artikel ilmiah, terdiri dari :

BAB I yang berisi pendahuluan, BAB II membahas tentang tinjauan pustaka, BAB III membahas metode yang digunakan dalam mencapai tujuan penulisan artikel ilmiah, BAB IV membahas tentang analisa data hasil percobaan atau eksperimen yang sudah dilakukan di lapangan atau laboratorium, BAB V membahas kesimpulan dan saran, Dan yang terakhir adalah daftar pustaka yang berisi sumber referensi penulisan artikel ilmiah.

Berikut adalah contoh sistematika artikel ilmiah secara lengkap, mulai dari bab 1, bab 2, bab 3, bab 4, bab 5 dan daftar pustaka :

COVER ARTIKEL ILMIAH

LEMBAR PENGESAHAN

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

1.2 Tujuan Penelitian

1.3 Metode Penelitian

1.4 Waktu dan Tempat Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV ANALISA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Sistematika di atas digunakan dalam menyusun makalah atau karya tulis, skripsi, tesis, dan desertasi.

CONTOH ARTIKEL ILMIAH YANG DISUSUN MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA

Contoh artikel ilmiah yang disusun menggunakan bahasa Indonesia bisa berupa makalah, skripsi, thesis dan desertasi. Tema atau topik yang dipilih tentu disesuaikan dengan tujuan dari penulisan tulisan ilmiah tersebut. Tema atau topik disesuaikan dengan permasalahan yang terbaru atau terkini. Contoh tema atau topik artikel ilmiah, misalnya : di bidang ekonomi, hukum, sains, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Di dalam menulis ilmiah harus sesuai dengan kaidah dan aturan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Selengkapnya Mengenai Contoh Artikel Ilmiah DI: Syarif Soden
info lowongan kerja GRATIS!!!⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Like, share dan tag teman atau saudara siapa tau ada yg butuh pekerjaan ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

PERHATIAN !!! Lowongan mungkin sudah tidak berlaku
Follow Sosial media di bawah untuk info lowongan terbaru


Facebook⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Info lebih lanjut hubungi kontak yg tersedia di gambar
kami juga melayani promo usaha

Monday, May 22, 2023

Sekilas tentang Antropologi



Pengertian dasar Antropologi menurut wikipedia.


Quote:
Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal"). Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.

Antropologi memiliki dua sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiaannya. Arus utama inilah yang secara tradisional memisahkan antropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada perbandingan/perbedaan budaya antar manusia. Walaupun begitu sisi ini banyak diperdebatkan dan menjadi kontroversi sehingga metode antropologi sekarang seringkali dilakukan pada pemusatan penelitian pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal.


Tujuan Antropologi sebagai ilmu.


Quote:
Secara akademis, Antropologi berusaha mencapai sebuah pemahaman tentang manusia secara fisik, manusia dalam masyarakatnya, dan manusia dengan kebudayaannya. Secara praktis, Antropologi berusaha membangun suatu pandangan bahwa perbedaan manusia dan kebudayaannya merupakan suatu hal yang harus dapat diterima, bukan sebagai sumber konflik tetapi sebagai sumber pemahaman baru, agar secara terus-menerus manusia dapat merefleksikan dirinya. Secara praktis, kajian ilmu Antropologi dapat digunakan untuk membangun masyarakat dan kebudayaannya tanpa harus membuat masyarakat dan kebudayaan itu, kehilangan identitas atau tersingkir dari peradaban.


Sejarah Perkembangan Antropologi


Quote:
Antropologi merupakan cabang ilmu yang usia perkembangannya relatif lebih muda dari cabang ilmu lainnya. Ilmu ini sebenarnya mulai berkembang bersamaan dengan abad pelayaran dunia. Lambannya perkembangan Antropologi pada masa-masa awal disebabkan kegagalan masyarakat Eropa melihat dan memahami kenyataan bahwa antara diri mereka dan bangsa-bangsa lain di luar mereka (daerah-daerah lain di dunia), sebenarnya memiliki sifat-sifat kemanusiaan yang sama.


Quote:
Menurut Haviland, sebelum akhir abad ke-18, masyarakat Eropa selalu menganggap orang-orang dengan kebudayaan berbeda, yang tidak memiliki nilai-nilai budaya Eropa, adalah orang “biadab”, “buas”, atau berperilaku “barbar”. Baru di akhir abad ke-18, banyak masyarakat Eropa menganggap nilai, norma, dan perilaku bangsa-bangsa asing itu sangat relevan untuk memahami nilai, norma, dan perilaku mereka sendiri.


Quote:
Hal ini terjadi karena perkembangan ilmu pengetahuan pada abad ke-18 di Eropa, didominasi oleh berbagai usaha untuk menerangkan segala sesuatu berdasarkan hukum alam. Selain itu, sebelum akhir abad ke-18 masyarakat Eropa masih sangat kuat dipengaruhi oleh ketatnya penafsiran terhadap teks-teks Alkitab. Kesangsian terhadap kemampuan Alkitab untuk menjelaskan tentang lebih banyak keanekaragaman manusia telah mendorong berkembangnya kesadaran bahwa studi tentang bangsa-bangsa “biadab”, dan ‘Barbar” itu sebenarnya adalah studi tentang seluruh umat manusia.


penting nih gan..


Karena kita sering kali tidak mampu memahami dan menerima dengan terbuka beraneka ragam suku bangsa, kebudayaan, agama, dan keyakinan itu. Sering kali kita dibatasi oleh prasangka dan stigma terhadap mereka yang berbeda dengan kita.Prasangka dan stigma itu bertumpuk dan tiba-tiba meledak menjadi konflik terbuka seperti yang terjadi di Ambon, dan konflik Dayak-Madura di Kalimantan. Belajar Antropologi merupakan langkah awal bagi kita untuk berpikir terbuka, sehingga mampu memahami dan menerima berbagai perbedaan yang ada di sekitar kita.


Setengah abad yang lalu, jurusan Antropologi dibuka di Universitas Indonesia (UI) dan sekarang telah beredar dan berkembang pada 12 universitas. Bisa dikatakan, penyebaran ilmu Antropologi dapat dikategorikan dalam tiga tahap.

25 tahun setelah berdiri, jurusan ini masih belum cukup laku untuk mengepakkan sayap. Hanya beberapa universitas saja yang sudi mengajarkan ilmu ini secara khusus yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Udayana (UNUD), Universitas Hasanuddin (UNHAS), Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) dan Universitas Cendrawasih (UNCEN).

Apabila dianalisis secara cermat, kesadaran untuk menyelenggarakan jurusan ini tidak terlepas dari “filosofi” universitas yang bersangkutan. UI, UNPAD, UGM sebagai kampus-kampus tertua di negeri ini mempunyai semacam sebuah kebijakan untuk menyebarluaskan segala macam ilmu yang ada, yang notabene berasal dari barat, kepada khalayak ramai. UNUD yang embrionya adalah Fakultas Sastra Universitas Airlangga (UNAIR) cabang Bali pun merasa terpanggil karena cetak birunya sudah jelas pada pengembangan ilmu-ilmu budaya seperti yang tersirat dalam prasasti yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno di kampus awal mereka di Jalan Nias. UNHAS, UNSRAT dan UNCEN pun tidak terlepas dari semangat ini. Sebagai kampus-kampus terdepan di Indonesia Timur, mereka merasa keberadaan Antropologi sangat penting bagi pembangunan kawasan.


Quote:
Fase berikut terjadi pada tahun 1980-an, ketika Antropologi mulai merambah ke wilayah Sumatera yaitu di Universitas Sumatera Utara (USU) dan Universitas Andalas (UNAND). Sebagai PTN tertua ketiga, UNAIR baru membuka jurusan ini pada tahun 1985, jauh tertinggal dari kampus-kampus lain yang usianya lebih muda. Dekade ini juga ditandai dengan mulai berkembangnya program Pasca Sarjana.

Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia (JKAI) yang merupakan forum mahasiswa Antropologi untuk saling bertukar informasi, pengalaman dan mempererat hubungan pun didirikan pada tahun 1989 melalui sarasehan Wanagama dimana UGM bertindak sebagai penyelenggara. Sepuluh PTN pun sudah bergabung didalamnya. Pada masa ini, dua PTS sempat membuka jurusan Antropologi yaitu Universitas Pakuan di Bogor dan Universitas Sulawesi Tenggara di Kendari. Namun karena jumlah mahasiswa yang semakin sedikit membuat jurusan ini mati dengan sendirinya. Sepuluh PTN ini masih bersama dalam sarasehan JKAI berikutnya yaitu di UNUD tahun 1991 dan UNCEN tahun 1993.

Fase terkini dari perkembangan penyebaran Antropologi ditandai dengan dibukanya jurusan ini di Universitas Halu Oleo (UNHALU) pada tahun 1995. Pada sarasehan JKAI tahun 1996 di UNHAS, UNHALU pun sudah mengirimkan mahasiswanya. Sarasehan JKAI tahun 1997 di UNAND masih beranggotakan 11 PTN dan kampus termuda yang membuka jurusan ini adalah Universitas Tadulako (UNTAD) pada tahun 1999 yang juga ditandai kehadiran mereka pada sarasehan JKAI di UI tahun 2000.


Quote:
Pada tingkat Pasca Sarjana, perkembangan ilmu ini juga terlihat walaupun tidak sepesat tingkat Sarjana. UI, UGM dan UNHAS sudah menyelenggarakan program S2 dan S3 khusus Antropologi. UNPAD, UNAIR dan UNUD baru menyelenggarakannya dalam program S2 dan S3 yang terintegrasi. Antropologi tergabung dalam Program Ilmu Sosial di UNPAD. Metode yang sama juga dilakukan di UNAIR tetapi ada pengkhususan Antropologi pada tingkat magisternya. UNUD memasukkannya di dalam Program Kajian Budaya. Sedangkan enam kampus yang lain belum mampu menyelenggarakan.

Prof. Soetandyo Wignyosoebroto pada saat menggagas pendirian Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UNAIR, berangkat dari sebuah pemikiran bahwa Sosiologi, Antropologi dan Psikologi adalah tiga saudara kandung karena keterkaitan mereka antara satu dengan yang lain. Hal ini pula yang membuat pada awalnya ketiga jurusan ini berada pada satu fakultas yang sama sebelum Psikologi dipisahkan karena tuntutan komersial.


Quote:
Di Indonesia, ketiga ilmu ini memiliki “Bapak” tersendiri. Prof. Slamet Iman Santoso adalah pendiri Psikologi Indonesia yang embrio awalnya berasal dari kajian ilmu-ilmu kejiwaan pada Fakultas Kedokteran UI sebelum eksis berdiri sebagai Fakultas yang mandiri. Prof. Fuad Hasan sering disebut sebagai alumni pertama dari jurusan ini. Prof Koentjaraningrat adalah pendiri Antropologi Indonesia yang pada awalnya bernaung di dalam Fakultas Sastra UI sebelum “hengkang” ke FISIP pada tahun 1980an. Banyak yang mengatakan bahwa kepindahan ini karena perbedaan pendapat antara dua figur senior yaitu Mantan Rektor UI dan Mendikbud saat itu Prof. Nugroho Notosusanto yang juga Guru Besar Sejarah Fakultas Sastra UI dengan Prof. Koentjaraningrat. Prof. Selo Soemardjan adalah pendiri Sosiologi Indonesia yang juga menjadi peletak dasar bagi pembentukan FISIP di Indonesia.

Pendek kata, “tiga saudara kandung” yang hebat ini adalah embrio bagi berdirinya Fakultas Psikologi, Fakutas Budaya dan Fakultas Sosial. Ketiga ilmu ini bak sebuah kesebelasan yang membagi tugasnya menjadi tiga bagian yaitu pemain depan, tengah dan belakang. Manusia sebagai sebuah objek ilmu pengetahuan dibedah melalui tiga pisau analisa yang kuat.

Wednesday, October 12, 2016

Barrack Obama





Mengukir sejarah Amerika
Barrack Obama mempunyai latar belakang yang menarik ayahnya kulit hitam, ibu kulit putih, satu-satunya Afro-Amerika di senat AS, calon presiden AS pertaman keturunan Afrika dari partai democrat. Sewaktu kecil pernah tinggal dan sekolah di Indonesia. Rasanya lebih mudah membayangkan Amerika memiliki seorang presiden kulit hitam setelah menyaksikan serial TV ‘24’ yang sempat menjadi hit di Amerika dan berbagai Negara.
Dalam serial TV yang menonjolkan upaya Amerika memerangi terorisme ini, jack Bauer, sang jagoan dari CTU (Counter Terorism Unit) harus berjibaku dengan waktu yang terbatas (24jam) untuk mengagalkan upaya teroris menyerang kota-kota di Amerika. Jack berulang kali harus melindungi presiden kulit hitam pertama yang memimpin Amerika, presiden David Palmer, dari berbagai upaya pembunuhan. Dalam serial 24, Palmer digambarkan sebagai presiden yang berkarakter tenang, tidak gegabah mengambil keputusan, selalu menghindar dari cara-cara tidak terhormat dan karismatis.
Penampilan Palmer di serial 24 cukup memukau sebab menonjolkan sosok presiden Amerika Serikat yang patriotic dan nasionalis. Penonton pun berdecak kagum dengan karakter yang di perankan Palmer. Actor yang memerankan Palmer, dennis Haysbert bahkan mengklaim bahwa ia telah jalan bagi Barrack Obama untuk menjadi orang nomor satu di AS. Ia mengatakan jutaan penggemar serial ini menjadi terbiasa dengan ide bahwa Amerika bisa memiliki seorang presiden berkulit hitam. Dan jika Obama bisa sampai ke gedung putih, sang actor menyatakan bahwa serial 24 layak mendapat kredit.
Ide bahwa Amerika bisa memiliki seorang presiden berkulit hitam kelihatannya sudah dapat diterima oleh sebagian warga Negara Amerika. Meski Obama termasuk orang baru dalam kancah politik Amerika Serikat, antusiasme masyarakat dan media Amerika atas Obama terbilang sangat besar.
Salah satu edisi tahun 2005, TIME memasukan nama Obama pada dftar 100 orang paling berpengaruh di dunia. New Statesman, sebuah media di inggris, mendaftar Obama sebagai salah satu dari “sepuluh orang yang mampu mengubah dunia” pada edisi 23 oktober 2006, TIME memasang wajah tersenyum Obama sebagai cover, dan memasang judul besar-besar, “kenapa Barrack Obama bisa jadi presiden selanjutnya” (Why Barack Obama Could Be The Next President), ditulis oleh salah satu jurnalis terkemuka, Joe Klein.
Sementara media-media local lainnya seperti Washington Post, pernah menerbitkan headline berjudul agak bombastic “The Legend Of Barrack Obama” Obama juga mendapat perhatian dari majalah budaya Rolling Stones dan The New Yorker. Pada edisi 2004, Rolling Stones memilih Obama sebagai salah satu People Of The Year.
Latar belakang kehidupan bapak Barack Obama benar-benar ‘ditelanjangi’ dan diekspos luas. Satu waktu mengulas tuntas kehidupan Obama dari kecil hingga sekarang, di waktu lain mengulas kehidupan dan pengaruh ibunda pada diri Obama, termasuk kehidupan Obama saat tinggal di Indonesia.
Membaca perjalanan hidup Obama lewat tulisan-tulisan di berbagai media tersebut edisi 10 maret 2008, sosok Obama digambarkan sebagai sosok yang sama dengan kita (like us), dalam kehidupan sehari-harinya. Ia pun menjadi Inspirasi bagi banyak orang, yang meras terpinggirkan dan tak berdaya. Sebab Obama menapaki kehidupan gentir di tinggal ayahnya (Barack Hussein Obama asal Kenya), yang punya tiga istri lain, selain ibu kandung Obama, Ann Dunham, perempuan kulit putih.
Meski demikian, hal hal yang baik dari kedua orang tuanya mengalir dalam darah Obama. Obama mewarisi kecerdasan seorang ekonomi bergelar Ph.D lulusan Universitas Harvard dari ayahnya, dan nilai-nilai empati dan pelayanan kepada orang lain seorang antropolog dari ibunya. Postur tubuh dan warna kulit Obama, bahkan rambutnya yang keriting, lebuh mirip ayahnya ketimbang ibunya.
Dreams from My Father
Obama, Jr lahir di Honolulu, Hawaii pada 4 agustus 1961, anak hasil perkawinan Barack Hussein Obama, Sr dan Ann Dunham. Obama, Sr adalah pria asal Alego, sebuah desa di provinsi Nyanza, Kenya, afrika. Sedangkan Ann lahir dan tumbuh dewasa di kota kecil Wichita, Kansas.
Otaknya yang cemerlang mengubah nasib Obama Sr, dari seorang penggembala kambing dan pelayan di rumah keluarga kebangsaan Inggris di Kenya, menjadi seorang mahasiswa berbeasiswa untuk kuliah di East-West Center di universitas Hawaii di Manoa. Disanalah Obama, Sr bertemu dengan Ann Dunham, teman seuniversitas yang kemudian dinikahinya. Sebelum menikah dengan Ann Dunham, Obama, Sr telah menikahi wanita Kenya. Dari istrinya di Kenya itu, Obama, Sr mendapatkan tujuh orang anak.
Obama, Jr memang lahir saat kedua orang tuanya masih berstatus mahasiswa. Saat obama berusia sekitar dua tahun, Obama Sr meninggalkan Ann Dunham dan Obama kecil, untuk meraih gelar Ph.D di bidang ekonomi di Harvard University. Mereka akhirnya bercerai. Ann Dunham lulus dan dia menjadi antropolog. Sedangkan Obama, Sr, setelah menyelesaikan pendidikannya, kembali ke Kenya, dan bekerja sebagai perencana ekonomi bagi pemerintah. Obama, Sr meninggal dunia dalam kecelakaan mobil pada 1982 – ketika itu Obama, Jr berusia 21 tahun.
Ann Dunham menikah lagi dengan mahasiswa asing lainnya dari Indonesia yang belajar di Universitas Hawaii, bernama Lolo Soetoro. Pernikahan  Ann–Lolo dengan Ann dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik bernama Maya Kassandra Soetoro – saat ini Maya (37 tahun) menjadi pengajar di Universitas Hawaii. Seusai studi, Lolo memboyaong Ann dan Obama kecil pindah ke Jakarta. Di kota inilah Obama Jr sempat mengenyam pendidikan dasar di Indonesia pada usia enam sampai 10 tahun.

Komentar:
Tidak dapat disangkal Barrack Obama adalah sosok yang sangat fenomenal. Dia adalah orang kulit hitam pertama yang menjadi presiden di Amerika dimana sisa-sisa dari politik apartheid masih terasa. Terpilihnya Barrrack Obama menjadi presiden menunjukan bahwa politik apartheid telah hilang sepenuhnya di negeri itu. Dan ini pun dapat menular ke seluruh dunia dimana masih ada saja Negara yang isu-isu apartheid masih dapat ditemukan sebagai contoh, di Negara spanyol adalah negara dimana pemain sepak bola berkulit hitam akan diteriaki seperti monyet jika membawa bola. Dengan terpilihnya Barrack Obama kemungkinan besar dapat mengubah pandangan seluruh orang mengenai kulit hitam dan memberikan tempat yang lebih baik bagi para kulit hitam.

Bali menghadapi Globalisasi




Tantangan era globalisasi yang dihadapi masyarakat dan kebudayaan Bali seperti dikemukakan oleh Ardika (2005:18) dengan mengutip Appadurai dicirikan oleh perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh teknologi (technoscape), pengaruh media informasi (mediascape), aliran uang dari negara kaya ke negara miskin (financescape), dan pengaruh ideologi seperti HAM dan demokrasi (ideoscape) tidak dapat dihindari oleh kebudayaan Bali. Sentuhan budaya global ini menyebabkan terjadinya  ketidak seimbangan atau kehilangan orientasi (disorientasi) dan dislokasi hampir pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Konflik muncul di mana-mana, kepatuhan hukum semakin menurun, kesantunan sosial diabaikan. Masyarakat cenderung bersifat sekuler dan komersil. Uang dijadikan sebagai tolok ukur dalam kehidupan.

Dilihat dari perspektif Agama Hindu, kondisi zaman dewasa ini telah dinujumkan dalam kitab-kitab Purana yang menyatakan bahwa sejak penobatan prabhu Pariksit cucu Arjuna sebagai maharaja Hastina pada tanggal 18 Februari 3102 SM., umat manusia telah mulai memasuki zaman Kaliyuga (Gambirananda,1984:XIII). Kata Kaliyuga berarti zaman pertengkaran yang ditandai dengan memudarnya kehidupan spiritual, karena dunia dibelenggu oleh kehidupan material. Orientasi manusia hanyalah pada kesenangan dengan  memuaskan nafsu indrawi (Kama) dan bila hal ini terus diturutkan, maka nafsu itu ibarat api yang disiram dengan minyak tanah atau bensin, tidak akan padam, melainkan menghancurkan diri manusia. Ciri zaman Kali (Kaliyuga) semakin nyata pada era globalisasi yang ditandai dengan derasnya arus informasi, dimotori oleh perkembangan teknologi dengan muatan filsafat Hedonisme yang hanya berorientasi pada material dan usaha untuk memperoleh kesenangan nafsu berlaka. Dengan tidak mengecilkan arti dampak postif globalisasi, maka dampak negatifnya nampaknya perlu lebih diwaspadai. Globalisasi menghapuskan batas-batas negara atau budaya suatu bangsa. Budaya Barat yang sekuler sangat mudah diserap oleh bangsa-bangsa Timur dan bila hal ini tidak dikendalikan tentu menghancurkan budaya atau peradaban bangsa-bangsa Timur. Di mana-mana nampaknya masyarakat mudah tersulut pada pertengkaran.

Kitab Skanda Purana, XVII.1 menyebutkan pusat-pusat pertengkaran yang menghancurkan kehidupan manusia, yaitu pada: kekuasaan (politik), minuman keras, perjudian, pelacuran, dan harta benda/kekayaan (Mani, 1989:373). Berdasarkan uraian di atas, dampak negatif globalisasi terhadap Agama Hindu dan budaya Bali antara lain di bidang moralitas, solidaritas, dan bahkan banalisasi. Akibat dampak negatif tersebut cenderung bermanifes menjadi potensi konflik seperti dikemukakan oleh Suacana (2005:5) sebagai berikut.

1)    Konflik antaretnis khususnya etnis Bali dengan non-Bali. Potensi ini makin membesar dengan munculnya kristalisasi etnis di antara manusia Bali yang makin membuat tembok pembatas antara “kekitaan” dan “kemerekaan” (we-ness dengan other-ness). Beberapa wacana sosial juga sudah menjadi indikator jelas mengenai hal ini. Kenyataan ini berasosiasi dengan proses indigenisasi masyarakat Bali serta meningkatnya migrasi dari luar pulau Bali.

2)    Konflik antar kelas yang berlatar belakang ekonomi. Masyarakat kelas ekonomi bawah yang merasa termarginalisasi sudah mulai memposisikan diri secara frontal dengan kaum kaya, khususnya penguasa (investor). Tindakan anarkhis pun mulai menggejala. Hal ini terlihat pada kasus-kasus pemogokan kaum buruh di berbagai industri pariwisata.

3)    Konflik antarkelompok homo-aequalis dan homo-hierarchicus. Kelompok homo-aequalis dengan ideologi egalitarianisme ingin melihat masyarakat Bali yang demokratis, tanpa adanya diskriminasi atas dasar keturunan. Di lain pihak, kelompok homo-hierarchicus dengan  segala upaya mempertahankan status quo hirarki tradisionalnya. Konflik yang sudah berlangsung sejak tahun 1920-an ini secara awam dikenal sebagai konflik kasta.

4)    Konflik antara Hindu tradisional-ritualistik dan Hindu modern-humanistik. Meskipun tidak terlalu menonjol, sudah ada gejala-gejala pertentangan antara penganut Hindu tradisi, yang menekankan pada ritus-ritus besar dengan penekanan Bali, dan Hindu modern yang menekankan pengamalan Hindu dengan konsep “back to Veda” yang dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai “aliran baru”. Kristalisasi indikator kontemporer masalah ini sangat jelas tampak dengan adanya dualisme Parisada Bali yang berlangsung hingga saat ini, yakni Parisada versi Campuhan dan Besakih.

5)    Konflik antarkabupaten/kota, terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah (UU No.22 Tahun 1999), yang memunculkan arogansi kabupaten/kota secara berlebihan.

Berbagai potensi dan manifestasi konflik tersebut, makin memberi penyadaran bahwa masyarakat multikultural di Bali ternyata tidak selamanya kondusif bagi tumbuhnya toleransi dan demokrasi apalagi dalam kondisi masyarakat Bali yang pemilahan, fragmentasi, serta polarisasi sosialnya relatif tinggi. Kondisi diferensiasi sosial demikian  serta berbagai ancaman konflik yang menyertainya makin memberi penyadaran bahwa upaya untuk lebih mengaktualisasikan dan mengimplemetasikan nilai-nilai bersama, serta mengembangkan toleransi sudah sangat mendesak dilakukan (Suacana, 2005:6).

Sejalan dengan upaya yang ditawarkan oleh I Wayan Gede Suacana di atas, I Wayan Geriya menyatakan: “Pada dasarnya masyarakat Bali memiliki tumpuan dan referensi potensi untuk menghadapi aneka tantangan, baik potensi normatif seperti konsep, nilai, dan filosofis maupun potensi real yang mencakup institusi dan pengalaman bersama dalam menghadapi berbagai gangguan dan ancaman” (20-02-0 6). Gangguan dan ancaman terbukti dari tragedi bom Kuta (12 Oktober 2002) dan tragedi bom Jimbaran (1 Oktober 2005) yang bila tidak ada kearifan masyarakat Bali memungkinkan terjadi konflik yang lebih besar seperti halnya yang terjadi di Ambon maupun Poso.

Berkenaan dengan potensi konflik yang dihadapi sebagai dampak negatif dari globalisasi yang menimpa Bali kiranya perlu dilakukan beberapa langkah aksi, antara lain.
1)    Menumbuh kembangkan konsep atau nilai kesadaran persaudaraan yang sejati intern umat Hindu, antaragama, dan antaretnis, yakni kesadaran menyamabraya, sebagai wujud solidaritas yang telah tertanam sejak pertumbuhan budaya Bali. Setiap penduduk Bali mesti memiliki kesadaran untuk membangun Bali dan bukan membangun atau hanya mencari keuntungan di Bali.

2)    Menumbuh kembangkan kesabaran sebagai wujud pengamalan ajaran agama dengan menempuh musyawarah untuk mufakat. Tindakan anarkhis tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

3)    Meningkatkan kualitas pendidikan agama Hindu bagi umat Hindu di Bali yang menekankan pada humanisme, inklusifisme, pluralisme dan dialogis, dengan demikian konflik antarkelompok homo-aequalis dan homo-hierarchicus yang laten dan berlarut-larut dapat direduksi. Dengan kesadaran bahwa semua makhluk (manusia) adalah bersaudara (Vasudhaiva kutumbhakam) dan semua makhluk hendaknya sejahtera (sarvapranihitankarah) maka orang-orang yang benar-benar mengamalkan ajaran Agama Hindu akan menjadi rendah hati, tidak arogan, dan bahkan tidak eksklusif.

4)    Memperjuangkan terus otonomi daerah di tingkat provinsi untuk mencegah konflik antarkabupaten/kota.

5)    Memperjuangkan peradilan Agama Hindu di Bali sejalan dengan Otonomi Daerah dengan kekhasan budaya Bali untuk mencegah penafsiran yang keliru terhadap ajaran dan hukum Agama Hindu, antara lain yang menyangkut kepanditaan, kepemangkuan, sidhikara, perkawinan dan sebagainya.

Pengembangan identitas budaya dalam konteks Ajeg Bal

Seperti telah dijelaskan di atas, sesungguhnya keberagaman dalam arti kebhinekaan telah menjadi sikap hidup masyarakat Bali. Banyak ditemukan berbagai peninggalan dan ajaran (konsepsi) sebagai wujud kearifan lokal tentang menyikapi adanya perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan, di antaranya:

1)    Kearifan untuk mengharagai kepercayaan prasejarah seperti Bhattara Da Tonta di Terunyan, yang kini disebut sebagai Bhatara Pancering Jagat (Dewata Tertinggi masyarakat Terunyan), dalam wujud arca megalitik dan kini ditempatkan dalam bangunan suci meru, yang merupakan bangunan suci menurut Agama Hindu.

2)    Kearifan untuk menghargai kepercayaan yang berbeda di antara kepercayaan China (Kong Hu Chu) dengan membangunan satu bangunan suci untuk memuja Ratu Subandar (dari kata Syahbandar) yang di masa silam menangani pelabuhan termasuk pajak berkaitan dengan pelabuhan dan lalulintas barang. Bangunan suci ratu Subandar (yang juga disebut Kong Cho) dapat dijumpai di Pura Agung Besakih, Pura Ulundanu Batur, Pura Dalem Balingkang, di bebera Pura Desa di Kecamatan Kintamani dan lain-lain. Di Goa Gajah ditemukan peninggalan Agama Hindu dan Buddha hidup berdampingan. Di Pura Silayukti, Mpu Kuturan dipuja sebagai penganut Siva dan Buddha, dan lain-lain.

3)    Ajaran Tri Hitakarana yang artinya tiga hal yang menyebabkan terwujudnya kebahagiaan dengan membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa) (Parhyangan), antar sesama umat manusia (Pawongan), dan manusia dengan alam sekitar termasuk makhluk rendahan lainnya (Pelemahan).

4)    Konsepsi Desa, Kala, dan PatraKonsepsi ruang, waktu manusia yang berintikan penyesuaian atau keselarasan serta dapat menerima perbedaan dan persatuan sesuai dengan motto Bhineka Tunggal Ika. Konsepsi ini memberikan landasan yang luwes dalam komunikasi ke dalam maupun ke luar, sepanjang tidak menyimpang dari essensinya.

5)    Konsepsi Karmaphala. Konsepsi berlandaskan hukum sebab akibat karena perbuatan yang baik akan selalu menghasilkan pahala yang baik dan demikian sebaliknya. Konsepsi ini merupakan  landasan bagi pengendalian diri dan dasar penting bagi pembinaan moral dalam berbagai segi kehidupan.

6)    Konsepsi Taksu dan Jengah. Taksu dan Jengah merupakan dua konsep dalam kebudayaan Bali yang perlu dihayati dan dikembangkan, karena sangat relevan untuk menjaga ketahanan dan keajegan budaya Bali, yakni sungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu yang dapat memunculkan talenta dan rasa untuk malu bila sesuatunya itu gagal dilakukan.

7)    Konsepsi Salunglung Sabhayantaka, Paras Parosarpanaya, atau Beriuksaguluk. Kalimat tersebut mengandung makna solidaritas yang tinggi dalam suka dan duka, baik dan buruk ditanggung bersama. Bersama-sama dalam kegiatan baik suka maupun kedukaan.

8)    Konsepsi Wirang dan Tindih. Konsepsi untuk membela teman seperjuangan, membela nama baik kekerabatan, nama baik desa dan sejenisnya.

9)    Konsepsi Satyam-Sivam-Sundaram. Konsepsi berkaitan dengan kebenaran-keharmonisan-keindahan yang merupakan landasan estetika kesenian Bali.

10)    Konsepsi Asih-Punya-Bhakti. Makna yang dikandung dari konsepsi ini adalah cinta kasih, jasa, dan penghormatan yakni hubungan yang harmonis antara Manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, para Dewa dan leluhur, juga hubungan yang harmonis antara yang lebih muda, sebaya dan dengan yang lebih tua.

11)    Konsepsi Desa Amawacara Nagara Amawa Tata. Makna konsepsi ini adalah untuk menghargai perbedaan tradisi budaya masing-masing, demikian pula dalam dimensi waktu yang berbeda.

12)    Konsepsi Tri Samaya (Atita - Wartamana - Anagata). Konsepsi dalam konteks dimensi waktu yakni: yang lalu, yang terjadi saat ini, dan yang terjadi di masa yang akan datang, dan lain-lain.

Berkaitan dengan kearifan lokal masyarakat Bali, kiranya hampir di semua etnis dan simpul-simpul budaya di Indonesia memiliki berbagai kearifan, yang beberapa di antaranya sama persis dalam bahasa yang berbeda dan semuanya dapat menjadi sumbangan dalam rangka mempertahankan identitas dan ketahanan budaya nasional. Identitas budaya nasional tidak berarti melenyapkan eksistensi budaya lokal, melainkan mengembangkan dan memperkuat identitas tersebut, misalnya Aceh yang dikenal dengan serambi Mekah, maka ciri Agama Islam dan budayanya sangat kental di sana, demikian pula Bali sebagai pulau dewata, maka Agama Hindu dan budaya Bali mesti dilestarikan (diajegkan) di daerah ini.

Pendahuluan
Kehidupan manusia tidak terlepas dengan keyakinan yang dianutnya. Keyakinan itu umumnya berbentuk agama (organized religion),  di luar itu sering disebut dengan kepercayaan atau juga agama asli (native religion). Apapun namanya semuanya itu berporos pada keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan berbagai nama. Keyakinan itu menjadi pegangan hidup seseorang dan atau bersama-sama kelompoknya. Ajaran agama memberikan pencerahan dan tuntunan hudup kepada penganutnya.

Dalam kehidupan bersama dalam masyarakat terdapat berbagai agama dan atau kepercayaan dan masing-masing agama atau kepercayaan itu memiliki berbagai perbedaan terutama yang menyangkut keimanan (úraddhà), jalan menghubungkan diri kepada-Nya (àcàra/upàcàra/ritual) dan etika (suúìla). Perbedaan-perbedaan tersebut memberi rona dan mewarnai kehidupan beragama dalam masyarakat. Walaupun demikian, pada aspek tertentu memiliki kesamaan, misalnya menyangkut kemanusiaan (humanity).
Persamaan dan perbedaan antar agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tampak dalam kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan sasanti Bhineka Tunggal Ika dan sekali-sekali tampak pula adanya berbagai friksi yang bila tidak dieliminasi, bagaikan penyakit akan dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Tantangan bagi umat beragama dan juga bagi setiap cendekiawan untuk dapat mengeliminir hal-hal yang mengancam integrasi nasional yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mewadahi keberagaman warga negaranya.
Tulisan ringkas ini mengetengahkan dampak globalisasi, pemahaman agama yang ekslusif, dasar-dasar teologi Hindu tentang kemanusiaan (humanity), perbedaan (plurality), dan bagaimana ajaran agama mengajarkan untuk berkomunikasi dengan sesama umat manusia (dialogis). Tulisan ini sifatnya deskriptif dengan berusaha menggali sumber-sumber ajaran tentang hal tersebut sebagai suatu yang normatif dan memadukannya dengan hal-hal yang bersifat empirik di lapangan.
Dampak Globalisasi
Globalisasi merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi eksistensi Agama Hindu dan budaya Bali. Tidak ada satu bangsa atau budaya apapun di belahan dunia ini yang tidak terlepas dari globalisasi atau era kesejagatan yang demikian tampak pesat mendera setiap bangsa. Berbagai produk budaya global telah merambah berbagai aspek kehidupan. Dampak positif budaya global sangat dirasakan oleh masyarakat Bali. Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Demikian pula alat-alat komunikasi, transportasi, dan informasi yang sangat canggih memberikan peluang kepada masyarakat Bali yang memang sangat terbuka, untuk berkomunikasi ke mana saja di belahan bumi ini. Wawasan masyarakat Bali terbuka untuk memetik hal-hal yang baik dari manapun berasal dan dengan kemampuannya yang selektif dan adaptif, menggunakan hal-hal yang baik itu untuk merevitalisasi Agama Hindu dan budaya Bali. Di balik dampak positif globalisasi, tidak dapat dihindari adalah dampak negatif budaya global tersebut. Teknologi komunikasi dan informasi yang demikian maju memberi peluang masuknya berbagai pengaruh budaya asing, ke dalam rumah dan bahkan ke dalam kamar-kamar dan kepada pribadi masyarakat. Dampak negatif budaya global tersebut merupakan dampak dari kehidupan modern. Muncul berbagai masalah di antaranya masyarakat semakin individualis, kurangnya solidaritas. Berkembangnya penyakit sosial seperti prostitusi, penyalahgunaan obat-obat psikotropika (narkoba, ekstasi, dan sebagainya), pencurian, perampokan, dan bahkan pemerkosaan.  
Globalisasi telah menimbulkan semakin tingginya intensitas pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informasi mempercepat proses perubahan tersebut. Proses globalisasi telah pula merambah kehidupan agama yang serba sakral menjadi sekuler, yang dapat menimbulkan ketegangan bagi umat beragama. Nilai-nilai yang mapan selama ini telah mengalami perubahan yang pada gilirannya menimbulkan keresahan psikologis dan krisis identitas di kalangan masyarakat (Ardika, 2005:18).
Terlepas dari dampak positif dan negatif globalisasi tersebut, tampak beragam respon masyarakat Bali. Di satu pihak mereka optimis menghadapi tantangan globalisasi tersebut, di pihak yang lain ada yang sangat pesimis dan khawatir terhadap memudarnya berbagai nilai budaya Bali. Dalam situasi yang demikian, mantan Duta Besar India, Vinod C. Khanna dan Malini Saran yang telah beberapa kali mengunjungi Bali, dan menulis buku The Ramayana in Indonesia (2004) seperti dikutip oleh Dharma Putra dan Widhu Sancaya (2005:XV) menyatakan bahwa Bali dapat dijadikan satu contoh untuk Asia sebagai daerah yang memiliki kemampuan untuk mengadaptasi budaya tradisional agar relevan dengan budaya global.
The island of Balinever lost sight of this truth while facing up to the relentless onslaught of tourism on its rich artistic heritage, and can be an example to the rest Asia for its skill in adapting traditional cultural practices to suit a modern context.

Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Agama Hindu dan budaya Bali mampu menghadapi budaya globabal, namun demikian kekhawatiran sebagian masyarakat tentang dampak negatif globalisasi perlu diusahakan jalan untuk mengatasi dan mungkin mencegahnya.

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa Agama Hindu menjadi jiwa dan sumber nilai budaya Bali, untuk itu kiranya perlu diketengahkan bagaimana sinergi dan dinamika Agama Hindu dengan budaya Bali dan melakukan fungsinya sesuai dengan budaya Bali. Sinergi dan dinamika Agama Hindu di Bali telah melahirkan berbagai kearifan lokal. Agama Hindu dan tidak menghapuskan tradisi masyarakat dan budaya Bali sebelumnya, tetapi sebaliknya memberikan pencerahan kepada budaya lokal. Berbagai kearifan lokal telah terbukti mampu menjadikan Agama Hindu dan budaya Bali eksis sepanjang masa.
Pemahaman dan Implementasi Agama yang sempit, keliru, dan inklusif
Dalam setiap penganut agama terdapat tiga kelompok umat yang memahami agama yang dianutnya itu dalam tiga sikap, yakni: (1) sangat toleran, humanis, dan inklusif. (2) sikap yang moderat, toleran, humanis, dan inklusif, dan (3) sikap yang keras (radikal, ortodoks), tidak toleran, tidak humanis, dan eksklusif. Munculnya sikap-sikap tersebut di atas, disebabkan oleh pemahaman terhadap agama yang dianutnya, yakni karena wawasan agama yang sempit, lokal, dan tradisional, berhadapan dengan sikap beragama yang rasional, global, dan universal. Lebih jauh dijelaskan beberapa pengertian dari istilah-istilah tersebut di atas.
Toleran berubah menjadi kata toleransi yang berarti menghargai perbedaan, perbedaan karena sumber ajaran, teologis, budaya, etika dan sebagainya. Humanis berasal dari kata human berarti manusia. Humanis berarti mengembangkan atau mengimplementasikan ajaran agama yang penuh dengan pemahaman terhadap kemanusiaan. Inklusif adalah sikap agama yang menekankan pengamalannya pada prilaku yang rendah hati, toleran, tidak arogan.  Moderat adalah sikap yang lembut, tidak lembek, dan tidak keras, sedang eksklusif adalah menekankan pengamalan agama pada bentuk luar, merasa paling benar, paling baik, dan tidak ada yang melebihi apa yang mereka anut, sedang ortodok, artinya adalah selalu berpegang kepada teks-teks atau kitab suci.    
Radikalisme agama  menjadi pembicaraan yang tidak pernah berhenti selama satu dekade ini. Bentuk-bentuk radikalisme yang berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme memberi stigma kepada agama-agama yang dipeluk oleh terorisme. Dalam hal ini Frans Magnis Suseno (Jawa Pos, 2002:1) menyatakan,  “Siapa pun perlu menyadari bahwa sebutan teroris memang tidak terkait dengan ajaran suatu agama, tetapi menyangkut prilaku keras oleh person atau kelompok. Karena itu, cap teroris hanya bisa terhapus dengan prilaku nyata yang penuh toleran”.
Menurut Ermaya (2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam kehidupan politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik, radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya peraturan-peraturan /ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang sedang berlaku. Ada juga menyatakan bahwa radikalisme adalah suatu paham liberalisme  yang sangat maju (Far Advanced Liberalism) dan ada pula yang menginterpretasikan radikalisme sama dengan ekstremisme /fundamentalisme.
Pendeta Djaka Sutapa (2004:1) menyatakan bahwa radikalisme agama merupakan suatu gerakan dalam agama yang berupaya untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan politis yang ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi “radikalisme” memang dapat saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan yang tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan  oleh kelompok agama tertentu di satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu. Adanya pertentangan yang tajam itu menyebabkan konsep radikalisme selalu dikaitkan dengan sikap dan tindakan yang radikal, yang kemudian dikonotasikan dengan kekerasan secara fisik. Istilah radikalisme berasal dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan fundamentalisme, berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau dasar dari suatu ajaran.
Ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain.
Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA (2004:25) menyatakan bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal (dalam Islam) akibat perkembangan sosio-politik yang membuat termarginalisasi, dan selanjutnya mengalami kekecewaan, tetapi perkembangan sosial-politik tersebut bukan satu-satunya faktor. Di samping faktor tersebut, masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompok-kelompok radikal, misalnya kesenjangan ekonomi dan ketidak-mampuan sebagian anggota masyarakat untuk memahami perubahan yang demikian cepat terjadi.