Wednesday, October 12, 2016

Bali menghadapi Globalisasi




Tantangan era globalisasi yang dihadapi masyarakat dan kebudayaan Bali seperti dikemukakan oleh Ardika (2005:18) dengan mengutip Appadurai dicirikan oleh perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh teknologi (technoscape), pengaruh media informasi (mediascape), aliran uang dari negara kaya ke negara miskin (financescape), dan pengaruh ideologi seperti HAM dan demokrasi (ideoscape) tidak dapat dihindari oleh kebudayaan Bali. Sentuhan budaya global ini menyebabkan terjadinya  ketidak seimbangan atau kehilangan orientasi (disorientasi) dan dislokasi hampir pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Konflik muncul di mana-mana, kepatuhan hukum semakin menurun, kesantunan sosial diabaikan. Masyarakat cenderung bersifat sekuler dan komersil. Uang dijadikan sebagai tolok ukur dalam kehidupan.

Dilihat dari perspektif Agama Hindu, kondisi zaman dewasa ini telah dinujumkan dalam kitab-kitab Purana yang menyatakan bahwa sejak penobatan prabhu Pariksit cucu Arjuna sebagai maharaja Hastina pada tanggal 18 Februari 3102 SM., umat manusia telah mulai memasuki zaman Kaliyuga (Gambirananda,1984:XIII). Kata Kaliyuga berarti zaman pertengkaran yang ditandai dengan memudarnya kehidupan spiritual, karena dunia dibelenggu oleh kehidupan material. Orientasi manusia hanyalah pada kesenangan dengan  memuaskan nafsu indrawi (Kama) dan bila hal ini terus diturutkan, maka nafsu itu ibarat api yang disiram dengan minyak tanah atau bensin, tidak akan padam, melainkan menghancurkan diri manusia. Ciri zaman Kali (Kaliyuga) semakin nyata pada era globalisasi yang ditandai dengan derasnya arus informasi, dimotori oleh perkembangan teknologi dengan muatan filsafat Hedonisme yang hanya berorientasi pada material dan usaha untuk memperoleh kesenangan nafsu berlaka. Dengan tidak mengecilkan arti dampak postif globalisasi, maka dampak negatifnya nampaknya perlu lebih diwaspadai. Globalisasi menghapuskan batas-batas negara atau budaya suatu bangsa. Budaya Barat yang sekuler sangat mudah diserap oleh bangsa-bangsa Timur dan bila hal ini tidak dikendalikan tentu menghancurkan budaya atau peradaban bangsa-bangsa Timur. Di mana-mana nampaknya masyarakat mudah tersulut pada pertengkaran.

Kitab Skanda Purana, XVII.1 menyebutkan pusat-pusat pertengkaran yang menghancurkan kehidupan manusia, yaitu pada: kekuasaan (politik), minuman keras, perjudian, pelacuran, dan harta benda/kekayaan (Mani, 1989:373). Berdasarkan uraian di atas, dampak negatif globalisasi terhadap Agama Hindu dan budaya Bali antara lain di bidang moralitas, solidaritas, dan bahkan banalisasi. Akibat dampak negatif tersebut cenderung bermanifes menjadi potensi konflik seperti dikemukakan oleh Suacana (2005:5) sebagai berikut.

1)    Konflik antaretnis khususnya etnis Bali dengan non-Bali. Potensi ini makin membesar dengan munculnya kristalisasi etnis di antara manusia Bali yang makin membuat tembok pembatas antara “kekitaan” dan “kemerekaan” (we-ness dengan other-ness). Beberapa wacana sosial juga sudah menjadi indikator jelas mengenai hal ini. Kenyataan ini berasosiasi dengan proses indigenisasi masyarakat Bali serta meningkatnya migrasi dari luar pulau Bali.

2)    Konflik antar kelas yang berlatar belakang ekonomi. Masyarakat kelas ekonomi bawah yang merasa termarginalisasi sudah mulai memposisikan diri secara frontal dengan kaum kaya, khususnya penguasa (investor). Tindakan anarkhis pun mulai menggejala. Hal ini terlihat pada kasus-kasus pemogokan kaum buruh di berbagai industri pariwisata.

3)    Konflik antarkelompok homo-aequalis dan homo-hierarchicus. Kelompok homo-aequalis dengan ideologi egalitarianisme ingin melihat masyarakat Bali yang demokratis, tanpa adanya diskriminasi atas dasar keturunan. Di lain pihak, kelompok homo-hierarchicus dengan  segala upaya mempertahankan status quo hirarki tradisionalnya. Konflik yang sudah berlangsung sejak tahun 1920-an ini secara awam dikenal sebagai konflik kasta.

4)    Konflik antara Hindu tradisional-ritualistik dan Hindu modern-humanistik. Meskipun tidak terlalu menonjol, sudah ada gejala-gejala pertentangan antara penganut Hindu tradisi, yang menekankan pada ritus-ritus besar dengan penekanan Bali, dan Hindu modern yang menekankan pengamalan Hindu dengan konsep “back to Veda” yang dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai “aliran baru”. Kristalisasi indikator kontemporer masalah ini sangat jelas tampak dengan adanya dualisme Parisada Bali yang berlangsung hingga saat ini, yakni Parisada versi Campuhan dan Besakih.

5)    Konflik antarkabupaten/kota, terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah (UU No.22 Tahun 1999), yang memunculkan arogansi kabupaten/kota secara berlebihan.

Berbagai potensi dan manifestasi konflik tersebut, makin memberi penyadaran bahwa masyarakat multikultural di Bali ternyata tidak selamanya kondusif bagi tumbuhnya toleransi dan demokrasi apalagi dalam kondisi masyarakat Bali yang pemilahan, fragmentasi, serta polarisasi sosialnya relatif tinggi. Kondisi diferensiasi sosial demikian  serta berbagai ancaman konflik yang menyertainya makin memberi penyadaran bahwa upaya untuk lebih mengaktualisasikan dan mengimplemetasikan nilai-nilai bersama, serta mengembangkan toleransi sudah sangat mendesak dilakukan (Suacana, 2005:6).

Sejalan dengan upaya yang ditawarkan oleh I Wayan Gede Suacana di atas, I Wayan Geriya menyatakan: “Pada dasarnya masyarakat Bali memiliki tumpuan dan referensi potensi untuk menghadapi aneka tantangan, baik potensi normatif seperti konsep, nilai, dan filosofis maupun potensi real yang mencakup institusi dan pengalaman bersama dalam menghadapi berbagai gangguan dan ancaman” (20-02-0 6). Gangguan dan ancaman terbukti dari tragedi bom Kuta (12 Oktober 2002) dan tragedi bom Jimbaran (1 Oktober 2005) yang bila tidak ada kearifan masyarakat Bali memungkinkan terjadi konflik yang lebih besar seperti halnya yang terjadi di Ambon maupun Poso.

Berkenaan dengan potensi konflik yang dihadapi sebagai dampak negatif dari globalisasi yang menimpa Bali kiranya perlu dilakukan beberapa langkah aksi, antara lain.
1)    Menumbuh kembangkan konsep atau nilai kesadaran persaudaraan yang sejati intern umat Hindu, antaragama, dan antaretnis, yakni kesadaran menyamabraya, sebagai wujud solidaritas yang telah tertanam sejak pertumbuhan budaya Bali. Setiap penduduk Bali mesti memiliki kesadaran untuk membangun Bali dan bukan membangun atau hanya mencari keuntungan di Bali.

2)    Menumbuh kembangkan kesabaran sebagai wujud pengamalan ajaran agama dengan menempuh musyawarah untuk mufakat. Tindakan anarkhis tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

3)    Meningkatkan kualitas pendidikan agama Hindu bagi umat Hindu di Bali yang menekankan pada humanisme, inklusifisme, pluralisme dan dialogis, dengan demikian konflik antarkelompok homo-aequalis dan homo-hierarchicus yang laten dan berlarut-larut dapat direduksi. Dengan kesadaran bahwa semua makhluk (manusia) adalah bersaudara (Vasudhaiva kutumbhakam) dan semua makhluk hendaknya sejahtera (sarvapranihitankarah) maka orang-orang yang benar-benar mengamalkan ajaran Agama Hindu akan menjadi rendah hati, tidak arogan, dan bahkan tidak eksklusif.

4)    Memperjuangkan terus otonomi daerah di tingkat provinsi untuk mencegah konflik antarkabupaten/kota.

5)    Memperjuangkan peradilan Agama Hindu di Bali sejalan dengan Otonomi Daerah dengan kekhasan budaya Bali untuk mencegah penafsiran yang keliru terhadap ajaran dan hukum Agama Hindu, antara lain yang menyangkut kepanditaan, kepemangkuan, sidhikara, perkawinan dan sebagainya.

Pengembangan identitas budaya dalam konteks Ajeg Bal

Seperti telah dijelaskan di atas, sesungguhnya keberagaman dalam arti kebhinekaan telah menjadi sikap hidup masyarakat Bali. Banyak ditemukan berbagai peninggalan dan ajaran (konsepsi) sebagai wujud kearifan lokal tentang menyikapi adanya perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan, di antaranya:

1)    Kearifan untuk mengharagai kepercayaan prasejarah seperti Bhattara Da Tonta di Terunyan, yang kini disebut sebagai Bhatara Pancering Jagat (Dewata Tertinggi masyarakat Terunyan), dalam wujud arca megalitik dan kini ditempatkan dalam bangunan suci meru, yang merupakan bangunan suci menurut Agama Hindu.

2)    Kearifan untuk menghargai kepercayaan yang berbeda di antara kepercayaan China (Kong Hu Chu) dengan membangunan satu bangunan suci untuk memuja Ratu Subandar (dari kata Syahbandar) yang di masa silam menangani pelabuhan termasuk pajak berkaitan dengan pelabuhan dan lalulintas barang. Bangunan suci ratu Subandar (yang juga disebut Kong Cho) dapat dijumpai di Pura Agung Besakih, Pura Ulundanu Batur, Pura Dalem Balingkang, di bebera Pura Desa di Kecamatan Kintamani dan lain-lain. Di Goa Gajah ditemukan peninggalan Agama Hindu dan Buddha hidup berdampingan. Di Pura Silayukti, Mpu Kuturan dipuja sebagai penganut Siva dan Buddha, dan lain-lain.

3)    Ajaran Tri Hitakarana yang artinya tiga hal yang menyebabkan terwujudnya kebahagiaan dengan membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa) (Parhyangan), antar sesama umat manusia (Pawongan), dan manusia dengan alam sekitar termasuk makhluk rendahan lainnya (Pelemahan).

4)    Konsepsi Desa, Kala, dan PatraKonsepsi ruang, waktu manusia yang berintikan penyesuaian atau keselarasan serta dapat menerima perbedaan dan persatuan sesuai dengan motto Bhineka Tunggal Ika. Konsepsi ini memberikan landasan yang luwes dalam komunikasi ke dalam maupun ke luar, sepanjang tidak menyimpang dari essensinya.

5)    Konsepsi Karmaphala. Konsepsi berlandaskan hukum sebab akibat karena perbuatan yang baik akan selalu menghasilkan pahala yang baik dan demikian sebaliknya. Konsepsi ini merupakan  landasan bagi pengendalian diri dan dasar penting bagi pembinaan moral dalam berbagai segi kehidupan.

6)    Konsepsi Taksu dan Jengah. Taksu dan Jengah merupakan dua konsep dalam kebudayaan Bali yang perlu dihayati dan dikembangkan, karena sangat relevan untuk menjaga ketahanan dan keajegan budaya Bali, yakni sungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu yang dapat memunculkan talenta dan rasa untuk malu bila sesuatunya itu gagal dilakukan.

7)    Konsepsi Salunglung Sabhayantaka, Paras Parosarpanaya, atau Beriuksaguluk. Kalimat tersebut mengandung makna solidaritas yang tinggi dalam suka dan duka, baik dan buruk ditanggung bersama. Bersama-sama dalam kegiatan baik suka maupun kedukaan.

8)    Konsepsi Wirang dan Tindih. Konsepsi untuk membela teman seperjuangan, membela nama baik kekerabatan, nama baik desa dan sejenisnya.

9)    Konsepsi Satyam-Sivam-Sundaram. Konsepsi berkaitan dengan kebenaran-keharmonisan-keindahan yang merupakan landasan estetika kesenian Bali.

10)    Konsepsi Asih-Punya-Bhakti. Makna yang dikandung dari konsepsi ini adalah cinta kasih, jasa, dan penghormatan yakni hubungan yang harmonis antara Manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, para Dewa dan leluhur, juga hubungan yang harmonis antara yang lebih muda, sebaya dan dengan yang lebih tua.

11)    Konsepsi Desa Amawacara Nagara Amawa Tata. Makna konsepsi ini adalah untuk menghargai perbedaan tradisi budaya masing-masing, demikian pula dalam dimensi waktu yang berbeda.

12)    Konsepsi Tri Samaya (Atita - Wartamana - Anagata). Konsepsi dalam konteks dimensi waktu yakni: yang lalu, yang terjadi saat ini, dan yang terjadi di masa yang akan datang, dan lain-lain.

Berkaitan dengan kearifan lokal masyarakat Bali, kiranya hampir di semua etnis dan simpul-simpul budaya di Indonesia memiliki berbagai kearifan, yang beberapa di antaranya sama persis dalam bahasa yang berbeda dan semuanya dapat menjadi sumbangan dalam rangka mempertahankan identitas dan ketahanan budaya nasional. Identitas budaya nasional tidak berarti melenyapkan eksistensi budaya lokal, melainkan mengembangkan dan memperkuat identitas tersebut, misalnya Aceh yang dikenal dengan serambi Mekah, maka ciri Agama Islam dan budayanya sangat kental di sana, demikian pula Bali sebagai pulau dewata, maka Agama Hindu dan budaya Bali mesti dilestarikan (diajegkan) di daerah ini.

Pendahuluan
Kehidupan manusia tidak terlepas dengan keyakinan yang dianutnya. Keyakinan itu umumnya berbentuk agama (organized religion),  di luar itu sering disebut dengan kepercayaan atau juga agama asli (native religion). Apapun namanya semuanya itu berporos pada keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan berbagai nama. Keyakinan itu menjadi pegangan hidup seseorang dan atau bersama-sama kelompoknya. Ajaran agama memberikan pencerahan dan tuntunan hudup kepada penganutnya.

Dalam kehidupan bersama dalam masyarakat terdapat berbagai agama dan atau kepercayaan dan masing-masing agama atau kepercayaan itu memiliki berbagai perbedaan terutama yang menyangkut keimanan (úraddhà), jalan menghubungkan diri kepada-Nya (àcàra/upàcàra/ritual) dan etika (suúìla). Perbedaan-perbedaan tersebut memberi rona dan mewarnai kehidupan beragama dalam masyarakat. Walaupun demikian, pada aspek tertentu memiliki kesamaan, misalnya menyangkut kemanusiaan (humanity).
Persamaan dan perbedaan antar agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tampak dalam kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan sasanti Bhineka Tunggal Ika dan sekali-sekali tampak pula adanya berbagai friksi yang bila tidak dieliminasi, bagaikan penyakit akan dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Tantangan bagi umat beragama dan juga bagi setiap cendekiawan untuk dapat mengeliminir hal-hal yang mengancam integrasi nasional yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mewadahi keberagaman warga negaranya.
Tulisan ringkas ini mengetengahkan dampak globalisasi, pemahaman agama yang ekslusif, dasar-dasar teologi Hindu tentang kemanusiaan (humanity), perbedaan (plurality), dan bagaimana ajaran agama mengajarkan untuk berkomunikasi dengan sesama umat manusia (dialogis). Tulisan ini sifatnya deskriptif dengan berusaha menggali sumber-sumber ajaran tentang hal tersebut sebagai suatu yang normatif dan memadukannya dengan hal-hal yang bersifat empirik di lapangan.
Dampak Globalisasi
Globalisasi merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi eksistensi Agama Hindu dan budaya Bali. Tidak ada satu bangsa atau budaya apapun di belahan dunia ini yang tidak terlepas dari globalisasi atau era kesejagatan yang demikian tampak pesat mendera setiap bangsa. Berbagai produk budaya global telah merambah berbagai aspek kehidupan. Dampak positif budaya global sangat dirasakan oleh masyarakat Bali. Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Demikian pula alat-alat komunikasi, transportasi, dan informasi yang sangat canggih memberikan peluang kepada masyarakat Bali yang memang sangat terbuka, untuk berkomunikasi ke mana saja di belahan bumi ini. Wawasan masyarakat Bali terbuka untuk memetik hal-hal yang baik dari manapun berasal dan dengan kemampuannya yang selektif dan adaptif, menggunakan hal-hal yang baik itu untuk merevitalisasi Agama Hindu dan budaya Bali. Di balik dampak positif globalisasi, tidak dapat dihindari adalah dampak negatif budaya global tersebut. Teknologi komunikasi dan informasi yang demikian maju memberi peluang masuknya berbagai pengaruh budaya asing, ke dalam rumah dan bahkan ke dalam kamar-kamar dan kepada pribadi masyarakat. Dampak negatif budaya global tersebut merupakan dampak dari kehidupan modern. Muncul berbagai masalah di antaranya masyarakat semakin individualis, kurangnya solidaritas. Berkembangnya penyakit sosial seperti prostitusi, penyalahgunaan obat-obat psikotropika (narkoba, ekstasi, dan sebagainya), pencurian, perampokan, dan bahkan pemerkosaan.  
Globalisasi telah menimbulkan semakin tingginya intensitas pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informasi mempercepat proses perubahan tersebut. Proses globalisasi telah pula merambah kehidupan agama yang serba sakral menjadi sekuler, yang dapat menimbulkan ketegangan bagi umat beragama. Nilai-nilai yang mapan selama ini telah mengalami perubahan yang pada gilirannya menimbulkan keresahan psikologis dan krisis identitas di kalangan masyarakat (Ardika, 2005:18).
Terlepas dari dampak positif dan negatif globalisasi tersebut, tampak beragam respon masyarakat Bali. Di satu pihak mereka optimis menghadapi tantangan globalisasi tersebut, di pihak yang lain ada yang sangat pesimis dan khawatir terhadap memudarnya berbagai nilai budaya Bali. Dalam situasi yang demikian, mantan Duta Besar India, Vinod C. Khanna dan Malini Saran yang telah beberapa kali mengunjungi Bali, dan menulis buku The Ramayana in Indonesia (2004) seperti dikutip oleh Dharma Putra dan Widhu Sancaya (2005:XV) menyatakan bahwa Bali dapat dijadikan satu contoh untuk Asia sebagai daerah yang memiliki kemampuan untuk mengadaptasi budaya tradisional agar relevan dengan budaya global.
The island of Balinever lost sight of this truth while facing up to the relentless onslaught of tourism on its rich artistic heritage, and can be an example to the rest Asia for its skill in adapting traditional cultural practices to suit a modern context.

Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Agama Hindu dan budaya Bali mampu menghadapi budaya globabal, namun demikian kekhawatiran sebagian masyarakat tentang dampak negatif globalisasi perlu diusahakan jalan untuk mengatasi dan mungkin mencegahnya.

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa Agama Hindu menjadi jiwa dan sumber nilai budaya Bali, untuk itu kiranya perlu diketengahkan bagaimana sinergi dan dinamika Agama Hindu dengan budaya Bali dan melakukan fungsinya sesuai dengan budaya Bali. Sinergi dan dinamika Agama Hindu di Bali telah melahirkan berbagai kearifan lokal. Agama Hindu dan tidak menghapuskan tradisi masyarakat dan budaya Bali sebelumnya, tetapi sebaliknya memberikan pencerahan kepada budaya lokal. Berbagai kearifan lokal telah terbukti mampu menjadikan Agama Hindu dan budaya Bali eksis sepanjang masa.
Pemahaman dan Implementasi Agama yang sempit, keliru, dan inklusif
Dalam setiap penganut agama terdapat tiga kelompok umat yang memahami agama yang dianutnya itu dalam tiga sikap, yakni: (1) sangat toleran, humanis, dan inklusif. (2) sikap yang moderat, toleran, humanis, dan inklusif, dan (3) sikap yang keras (radikal, ortodoks), tidak toleran, tidak humanis, dan eksklusif. Munculnya sikap-sikap tersebut di atas, disebabkan oleh pemahaman terhadap agama yang dianutnya, yakni karena wawasan agama yang sempit, lokal, dan tradisional, berhadapan dengan sikap beragama yang rasional, global, dan universal. Lebih jauh dijelaskan beberapa pengertian dari istilah-istilah tersebut di atas.
Toleran berubah menjadi kata toleransi yang berarti menghargai perbedaan, perbedaan karena sumber ajaran, teologis, budaya, etika dan sebagainya. Humanis berasal dari kata human berarti manusia. Humanis berarti mengembangkan atau mengimplementasikan ajaran agama yang penuh dengan pemahaman terhadap kemanusiaan. Inklusif adalah sikap agama yang menekankan pengamalannya pada prilaku yang rendah hati, toleran, tidak arogan.  Moderat adalah sikap yang lembut, tidak lembek, dan tidak keras, sedang eksklusif adalah menekankan pengamalan agama pada bentuk luar, merasa paling benar, paling baik, dan tidak ada yang melebihi apa yang mereka anut, sedang ortodok, artinya adalah selalu berpegang kepada teks-teks atau kitab suci.    
Radikalisme agama  menjadi pembicaraan yang tidak pernah berhenti selama satu dekade ini. Bentuk-bentuk radikalisme yang berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme memberi stigma kepada agama-agama yang dipeluk oleh terorisme. Dalam hal ini Frans Magnis Suseno (Jawa Pos, 2002:1) menyatakan,  “Siapa pun perlu menyadari bahwa sebutan teroris memang tidak terkait dengan ajaran suatu agama, tetapi menyangkut prilaku keras oleh person atau kelompok. Karena itu, cap teroris hanya bisa terhapus dengan prilaku nyata yang penuh toleran”.
Menurut Ermaya (2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam kehidupan politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik, radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya peraturan-peraturan /ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang sedang berlaku. Ada juga menyatakan bahwa radikalisme adalah suatu paham liberalisme  yang sangat maju (Far Advanced Liberalism) dan ada pula yang menginterpretasikan radikalisme sama dengan ekstremisme /fundamentalisme.
Pendeta Djaka Sutapa (2004:1) menyatakan bahwa radikalisme agama merupakan suatu gerakan dalam agama yang berupaya untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan politis yang ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi “radikalisme” memang dapat saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan yang tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan  oleh kelompok agama tertentu di satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu. Adanya pertentangan yang tajam itu menyebabkan konsep radikalisme selalu dikaitkan dengan sikap dan tindakan yang radikal, yang kemudian dikonotasikan dengan kekerasan secara fisik. Istilah radikalisme berasal dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan fundamentalisme, berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau dasar dari suatu ajaran.
Ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain.
Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA (2004:25) menyatakan bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal (dalam Islam) akibat perkembangan sosio-politik yang membuat termarginalisasi, dan selanjutnya mengalami kekecewaan, tetapi perkembangan sosial-politik tersebut bukan satu-satunya faktor. Di samping faktor tersebut, masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompok-kelompok radikal, misalnya kesenjangan ekonomi dan ketidak-mampuan sebagian anggota masyarakat untuk memahami perubahan yang demikian cepat terjadi.


 




No comments:

Post a Comment