Wednesday, October 12, 2016

Catur Warna dan Kasta Di Bali





A.   Pendahuluan

1.     Umum
Pulau Bali merupakan salah satu provinsi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan jumlah penduduk hamper 5 juta jiwa. Dari komposisi jumlah penduduk, sebanyak 90% penduduk Bali menganut agama Hindu dengan Kitab Sucinya Weda.
Dalam Weda diajarkan Catur Warna atau pembagian posisi dalam masyarkat berdasarkan profesi yang dimiliki. Catur Warna ini juga sering di sebut dengan Kasta. Menurut kamus Bahasa Inggris kata Kasta berarti berasal dari kata cast yang berarti kedudukan di masyararakat. Kasta atau Catur Warna berarti pembagian posisi atau peranan seseorang dalam masyarakat berdasarkan profesinya namun dalam pelaksanaannya kasta justru menggunakan garis keturunan sebagai pedoman dalam pembagian posisi seseorang dalam masyarakat.


2.     Pokok masalah
Sistem Kasta yang diterapkan di Bali tidak mengacu pada Weda terkait dengan ajaran Catur Warna yang mana dalam ajaran Weda Catur Warna adalah pembagian tugas sesuai dengan profesi yg dimiliki. Namun dalam kenyataan sehari-hari sistem Kasta lebih di dasarkan pada keturunan. Dan ini tidak sesuai dengan  apa yang digariskan dalam Weda. 


B.   Catur Warna dan Kasta.

1.     Ajaran Catur Warna dalam Bhagavad-Gita
Mantra Veda menyatakan bahwa adanya empat bakat pembawaan itu di ciptakan oleh Tuhan. Ini artinya Tuhan telah menentukan bahwa manusia dalam kelahirannya di dunia ini akan di bagi menjadi empat jenis sifat dan bakat yg menjadi landasan profesinya. Profesi itulah yang di pakai pegangan untuk melakukan  tugas dan kewajiban hidup agar cakra  yadnya menjadi berputar. Cakra Yadnya itu artinya hidup saling mengabdi berdasarkan ajaran Yadnya seperti dinyatakan dalam Baghavad-Gita III.16. Brahmana, Ksatri, Vaisya dan Sudra memiliki profesi yang berbeda-beda, tetapi perbedaan itu adalah perbedaan yg saling melengkapi sehingga perbedaan itu menjadi perbedaan yg saling membutuhkan. Brahmana membutuhkan Ksatria, Vaisya Vaisya dan juga Sudra. Demikian juga sebaliknya itulah yang disebut Cakra Yadnya.

2.     Sejarah Kasta di Bali
Sejarawan pada umumnya menyatakan bahwa sistem kasta di Bali baru muncul setelah Bali di taklukan oleh Majapahit pada 1343 Masehi, yang kemudian disusul dengan munculnya gelar-gelar kebangsawanan baru, yang mungkin asli Bali, karena gelar yang dipergunakan di Bali tidak semuanya ada padanannya di Jawa. Dengan demikian kasta adalah hasil politik rekayasa Majapahitisasi terhadap Bali. Sampai sekarang belum ada yang membantah bahwa kasta di Bali adalah barang impor dari Jawa, tetapi gelar-gelar kebangsawanan mungkin asli ciptaan Bali, yang mengalami perubahan berkali-kali. Gelar seperti Dalem, Gusti dan Kyai memang terdapat juga di Jawa tetapi gelar-gelar yang lain tidak.
Kalau kita menggali lebih dalam sejarah Majapahit, semua raja, bangsawan atau penguasa jaman dulu di Nusantara adalah keturunan rakyat jelata atau jaba, yang mungkin saja tingkah lakunya bak preman masa kini, yaitu Ken Arok. Dialah yang menurunkan raja-raja Majapahit melalui keturunannya yang bernama Raden Wijaya, hasil perkawinannya dengan Ken Dedes, yang akhirnya menjadi pendiri Majapahit, dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana (1294 – 1309).

3.     Penerapan kasta di Bali
Kasta di Bali yang mengacu pada keturunan atau kelahiran,  telah mengalami pemerosotan (degeneration) itulah yang masuk ke Bali dan diterapkan di Bali dan bukan paham warna asrama (varnashrama) yang berdasarkan guna dan karma. R.Goris menegaskan bahwa kasta di Bali adalah barang impor dari jawa, setelah Bali di taklukan  oleh Majapahit pada tahun 1343. pendapatnya itu dikemukakan dalam suratnya tertanggal 18 maret 1929 yang ditujukan kepada Gubernur Jendral di Batavia, pada waktu dia melaporkan hasil penelitiannya mengenai perkara-perkara Pande di Bali. Penelitian itu bertujuan memberikan informasi kepada pemerintah Hindia Belanda, karena mereka ingin memahami lebih mendalam mengenai perkastaan di Bali.
Setelah lenyapnya sistem kasta di Bali sebagai akibat tatanan dan pemerintahan demokratis dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kasta kehilangan teja auroranya dan menjadi tidak lebih dari sebutan wangsa, warga atau sebutan soroh belaka. Kalaupun gelar-gelar kebangsawanan masih tetap di pergunakan, semuanya hanyalah sekedar nama belaka, sebagai penanda soroh atau clan tertentu yg tidak mempunyai perivilese, atau hak istimewa apapun.
Perbedaan status sosial memang eksis pada semua bangsa, tetapi dimanapun di dunia tidak ada pertingkatan kasta yang begitu kakunya, seperti yg berlaku di India dan Bali, terutama pada masa kerajaan absolute yang berlangsung berabad-abad di Bali. Sebutan orang berkasta untuk wangsa tertentu dapat melambungkan harga diri mereka, karena dengan sebutan itu mereka mendapat perlakuan istemewa dan kehormatan yang berlebih-lebihan, di samping merasa di bedakan dengan kelompok masyarakat lain, yang terlanjur dianggap lebih rendah.
Dalam percakapan sehari-hari orang berkasta (anak makasta) berarti orang yang termasuk golongan triwangsa, golongan berdarah biru, sedangkan yang disebut golongan sudrawangsa di Bali dianggap tidak termasuk ke dalam kelas berkasta. Bentuk hormat yang berlebihan itu, diikuti perasaan (merasa) lebih hormat, mulia dan pantas diberikan tempat duduk yang terpisah dengan masyarakat biasa. Tidak duduk bersama pada meja makan yang sama dan memiliki atribut social tersendiri. Juga menggunakan nuansa bahasa Bali yang berbeda di dalam berkomunikasi antarwangsa, yakni menggunakan dan menaati tatalokacara yang lebih dikenal dengan masor-singgih basa. Pelanggaran atas hak istimewa itu, yang dilakukan golongan lain, menyebabkan mereka seketika itu juga merasa tercemar. Mereka merasa terhinakan dan terlecehkan bila dharma, pekerjaan dan symbol khusus golongan mereka digunakan dan dilakoni oleh golongan lain. Pelcehan itu harus mereka tebus dengan melakukan upacara tertentu yang di Bali dikenal dengan upacara prayascita, atau menghukum mereka yang berani melanggarnya. Sanksi niskala ini, ditambah sejumlahaturan social yang ditetapkan (dengan sanksi sekala : hukuman fisik dan psikis), tentu dimaksudkan untuk menjaga “kesucian” tatanan kehidupan triwangsa itu sendiri, jika perlu melakukan puritisasi secara halus sistem kasta tersebut.
Golongan berkasta sesungguhnya tidak hanya memiliki hak-hak istimewa namun juga mempunyai Dharma dan kewajiban yang sangat berat, tetapi karena seluruh kekuasaan pemerintahan  ada id tangan mereka, tidak ada sanksi kalau sebagian atau keseluruhannya dharma dan kewajiban itu tidak mereka lakukan, karena tanpa memenuhi dharma dan kewajiban itu pun mereka tetap saja triwangsa, padahal menurut sasananya, mereka sepatutnya terkena hukuman patita wangsa, antara lain sanksi yang menyebabkan kasta dan gelar mereka gugur dengan sendirinya. Karena pada zaman itu segala kekuasaan eksekutif, legislative maupun yudikatif berada di tangan mereka, demikian pula karena segala jenjang kekuasaan dari yang tertinggi sampai terendah juga ada di tangan mereka, maka tidak ada lembaga atau kekuasaan yang berwenang mengontrol tingkah polah mereka. Apapun pelanggaran yang mereka lakukan tidak akan mengubah status ke-triwangsa-an-nya, karena sistem kasta itu tegak mengikuti garis keturunan. Ini berbeda dengan dengan sistem warna yang berpegang teguh pada guna dan karma seseorang.
Buka saja dharma dan kewajiban yang tidak mereka lakoni, berbagai pantangan yang harus mereka hindari juga mereka langgar sendiri, karena tidak ada lembaga atau kekuasaan yang berwenang mengontrol perilaku mereka. Golongan triwangsa, memang lebih banyak menuntut hak-hak istimewa mereka saja. Mereka baru akan terkena hukuman berat kalau mereka berani berbuat andaga, berani menentang atau berontak kepada atasan atau rajanya. Oleh karena itu mereka tunduk sepenuhnya pada penguasa atasan, pelindung mereka.

C.   Kesimpulan dan Saran
Sistem kasta di Bali sudah ada selama kurang lebih 7 abad. Selama itu pula system kasta yang telah melenceng dari ajaran Weda yang sesungguhnya mencengkram kehidupan masyarakat Bali. Terlebih lagi pada masa-masa pemerintahan kerajaan absolute dimana para triwangsa berada pada masa puncaknya untuk “menjajah” kaum sudra.
Saat ini sistem kasta telah hilang namun belum punah sepenuhnya dan efek jangka panjangnya masih terasa. Masih banyak masyarakat yang merasa memiliki kasta tinggi bahwa dirinya lebih mulia, lebih terhormat dan ingin lebih diistimewakan dari orang lain yang dia anggap memiliki kasta lebih rendah meskipun tidak “sekeras” pada masa kerjaan Bali.
Melihat perkembangan jaman yang semakin modern dimana sistem  kasta tidak memiliki tempatnya lagi untuk dilaksanakan layaknya jaman kerajaan, sistem kasta sebaiknya ditinggalkan namun tidak perlu dihapus sepenuhnya. Dalam penggunaan nama misalnya; seseorang tidak perlu dengan sengaja menghilangkan titel yang dia atau keluarganya miliki, dengan pengertian bahwa titel itu hanya sebuah nama dan tidak memiliki kekuatan apapun yang membuatnya merasa lebih mulia dari orang lain. Titel itu juga tidak memiliki nilai jual seperti halnya titel yang didapat setelah lulus dari perguruan tinggi dan menjadi sarjana, dimana titel sarjana tersebut lebih bernilai dalam mencari pekerjaan namun belum tentu pula titel tersebut membuat seseorang lebih mulia dan terhormat.





                                       00000













D.   Daftar Pustaka

1.     Kembar Kerepun, Made. 2005Mengurai Benang Kusut Kasta”. Denpasar: PANAKOM.
2.     M. Echols, John dan Shadil, Hassan. “Kamus Bahasa Inggris Indonesia” cetakan XXVI: 2005 Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
3.     A.C Bhaktivedanta Swami Prabhupada. “Bhagavad-gita Menurut Aslinya”. Bhativedanta Book Trust Indonesia. 1982
4.     wiana, I Ketut. 2006 “memahami perbedaan Catur Warna, kasta dan wangsa”. Surabaya : PARAMITA



No comments:

Post a Comment