A. Pendahuluan
1. Umum
Pulau Bali merupakan salah
satu provinsi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan jumlah penduduk
hamper 5 juta jiwa. Dari komposisi jumlah penduduk, sebanyak 90% penduduk Bali menganut agama Hindu dengan Kitab Sucinya Weda.
Dalam Weda diajarkan Catur
Warna atau pembagian posisi dalam masyarkat berdasarkan profesi yang dimiliki.
Catur Warna ini juga sering di sebut dengan Kasta. Menurut kamus Bahasa Inggris
kata Kasta berarti berasal dari kata cast yang berarti kedudukan di
masyararakat. Kasta atau Catur Warna berarti pembagian posisi atau peranan
seseorang dalam masyarakat berdasarkan profesinya namun dalam pelaksanaannya
kasta justru menggunakan garis keturunan sebagai pedoman dalam pembagian posisi
seseorang dalam masyarakat.
2. Pokok masalah
Sistem Kasta yang diterapkan
di Bali tidak mengacu pada Weda terkait dengan
ajaran Catur Warna yang mana dalam ajaran Weda Catur Warna adalah pembagian
tugas sesuai dengan profesi yg dimiliki. Namun dalam kenyataan sehari-hari
sistem Kasta lebih di dasarkan pada keturunan. Dan ini tidak sesuai dengan apa yang digariskan dalam Weda.
B. Catur Warna dan Kasta.
1. Ajaran Catur Warna dalam Bhagavad-Gita
Mantra Veda menyatakan bahwa
adanya empat bakat pembawaan itu di ciptakan oleh Tuhan. Ini artinya Tuhan
telah menentukan bahwa manusia dalam kelahirannya di dunia ini akan di bagi
menjadi empat jenis sifat dan bakat yg menjadi landasan profesinya. Profesi
itulah yang di pakai pegangan untuk melakukan
tugas dan kewajiban hidup agar cakra
yadnya menjadi berputar. Cakra Yadnya itu artinya hidup saling mengabdi
berdasarkan ajaran Yadnya seperti dinyatakan dalam Baghavad-Gita III.16.
Brahmana, Ksatri, Vaisya dan Sudra memiliki profesi yang berbeda-beda, tetapi
perbedaan itu adalah perbedaan yg saling melengkapi sehingga perbedaan itu
menjadi perbedaan yg saling membutuhkan. Brahmana membutuhkan Ksatria, Vaisya
Vaisya dan juga Sudra. Demikian juga sebaliknya itulah yang disebut Cakra
Yadnya.
2. Sejarah Kasta di Bali
Sejarawan pada umumnya menyatakan
bahwa sistem kasta di Bali baru muncul setelah Bali di taklukan oleh Majapahit
pada 1343 Masehi, yang kemudian disusul dengan munculnya gelar-gelar
kebangsawanan baru, yang mungkin asli Bali, karena gelar yang dipergunakan di
Bali tidak semuanya ada padanannya di Jawa. Dengan demikian kasta adalah hasil
politik rekayasa Majapahitisasi terhadap Bali.
Sampai sekarang belum ada yang membantah bahwa kasta di Bali adalah barang
impor dari Jawa, tetapi gelar-gelar kebangsawanan mungkin asli ciptaan Bali, yang mengalami perubahan berkali-kali. Gelar
seperti Dalem, Gusti dan Kyai memang terdapat juga di Jawa tetapi gelar-gelar
yang lain tidak.
Kalau kita menggali lebih
dalam sejarah Majapahit, semua raja, bangsawan atau penguasa jaman dulu di
Nusantara adalah keturunan rakyat jelata atau jaba, yang mungkin saja tingkah
lakunya bak preman masa kini, yaitu Ken Arok. Dialah yang menurunkan raja-raja
Majapahit melalui keturunannya yang bernama Raden Wijaya, hasil perkawinannya
dengan Ken Dedes, yang akhirnya menjadi pendiri Majapahit, dengan gelar
Kertarajasa Jayawardhana (1294 – 1309).
3. Penerapan kasta di Bali
Kasta di Bali yang mengacu pada
keturunan atau kelahiran, telah
mengalami pemerosotan (degeneration) itulah yang masuk ke Bali dan diterapkan
di Bali dan bukan paham warna asrama
(varnashrama) yang berdasarkan guna dan karma. R.Goris menegaskan bahwa kasta
di Bali adalah barang impor dari jawa, setelah Bali
di taklukan oleh Majapahit pada tahun
1343. pendapatnya itu dikemukakan dalam suratnya tertanggal 18 maret 1929 yang
ditujukan kepada Gubernur Jendral di Batavia, pada waktu dia melaporkan hasil
penelitiannya mengenai perkara-perkara Pande di Bali. Penelitian itu bertujuan
memberikan informasi kepada pemerintah Hindia Belanda, karena mereka ingin
memahami lebih mendalam mengenai perkastaan di Bali.
Setelah lenyapnya sistem
kasta di Bali sebagai akibat tatanan dan pemerintahan demokratis dalam naungan
Negara Kesatuan Republik Indonesia,
kasta kehilangan teja auroranya dan menjadi tidak lebih dari sebutan wangsa,
warga atau sebutan soroh belaka. Kalaupun gelar-gelar kebangsawanan masih tetap
di pergunakan, semuanya hanyalah sekedar nama belaka, sebagai penanda soroh
atau clan tertentu yg tidak mempunyai perivilese, atau hak istimewa apapun.
Perbedaan status sosial
memang eksis pada semua bangsa, tetapi dimanapun di dunia tidak ada
pertingkatan kasta yang begitu kakunya, seperti yg berlaku di India dan Bali,
terutama pada masa kerajaan absolute yang berlangsung berabad-abad di Bali.
Sebutan orang berkasta untuk wangsa tertentu dapat melambungkan harga diri
mereka, karena dengan sebutan itu mereka mendapat perlakuan istemewa dan
kehormatan yang berlebih-lebihan, di samping merasa di bedakan dengan kelompok
masyarakat lain, yang terlanjur dianggap lebih rendah.
Dalam percakapan sehari-hari
orang berkasta (anak makasta) berarti orang yang termasuk golongan triwangsa,
golongan berdarah biru, sedangkan yang disebut golongan sudrawangsa di Bali dianggap tidak termasuk ke dalam kelas berkasta.
Bentuk hormat yang berlebihan itu, diikuti perasaan (merasa) lebih hormat,
mulia dan pantas diberikan tempat duduk yang terpisah dengan masyarakat biasa.
Tidak duduk bersama pada meja makan yang sama dan memiliki atribut social
tersendiri. Juga menggunakan nuansa bahasa Bali
yang berbeda di dalam berkomunikasi antarwangsa, yakni menggunakan dan menaati
tatalokacara yang lebih dikenal dengan masor-singgih basa. Pelanggaran atas hak
istimewa itu, yang dilakukan golongan lain, menyebabkan mereka seketika itu
juga merasa tercemar. Mereka merasa terhinakan dan terlecehkan bila dharma,
pekerjaan dan symbol khusus golongan mereka digunakan dan dilakoni oleh
golongan lain. Pelcehan itu harus mereka tebus dengan melakukan upacara
tertentu yang di Bali dikenal dengan upacara prayascita,
atau menghukum mereka yang berani melanggarnya. Sanksi niskala ini, ditambah
sejumlahaturan social yang ditetapkan (dengan sanksi sekala : hukuman fisik dan
psikis), tentu dimaksudkan untuk menjaga “kesucian” tatanan kehidupan triwangsa
itu sendiri, jika perlu melakukan puritisasi secara halus sistem kasta
tersebut.
Golongan berkasta
sesungguhnya tidak hanya memiliki hak-hak istimewa namun juga mempunyai Dharma
dan kewajiban yang sangat berat, tetapi karena seluruh kekuasaan
pemerintahan ada id tangan mereka, tidak
ada sanksi kalau sebagian atau keseluruhannya dharma dan kewajiban itu tidak
mereka lakukan, karena tanpa memenuhi dharma dan kewajiban itu pun mereka tetap
saja triwangsa, padahal menurut sasananya, mereka sepatutnya terkena hukuman patita
wangsa, antara lain sanksi yang menyebabkan kasta dan gelar mereka gugur dengan
sendirinya. Karena pada zaman itu segala kekuasaan eksekutif, legislative
maupun yudikatif berada di tangan mereka, demikian pula karena segala jenjang
kekuasaan dari yang tertinggi sampai terendah juga ada di tangan mereka, maka
tidak ada lembaga atau kekuasaan yang berwenang mengontrol tingkah polah
mereka. Apapun pelanggaran yang mereka lakukan tidak akan mengubah status
ke-triwangsa-an-nya, karena sistem kasta itu tegak mengikuti garis keturunan.
Ini berbeda dengan dengan sistem warna yang berpegang teguh pada guna dan karma
seseorang.
Buka saja dharma dan
kewajiban yang tidak mereka lakoni, berbagai pantangan yang harus mereka
hindari juga mereka langgar sendiri, karena tidak ada lembaga atau kekuasaan
yang berwenang mengontrol perilaku mereka. Golongan triwangsa, memang lebih
banyak menuntut hak-hak istimewa mereka saja. Mereka baru akan terkena hukuman
berat kalau mereka berani berbuat andaga, berani menentang atau berontak kepada
atasan atau rajanya. Oleh karena itu mereka tunduk sepenuhnya pada penguasa
atasan, pelindung mereka.
C. Kesimpulan dan Saran
Sistem kasta di Bali sudah ada selama kurang lebih 7 abad. Selama itu
pula system kasta yang telah melenceng dari ajaran Weda yang sesungguhnya
mencengkram kehidupan masyarakat Bali.
Terlebih lagi pada masa-masa pemerintahan kerajaan absolute dimana para
triwangsa berada pada masa puncaknya untuk “menjajah” kaum sudra.
Saat ini sistem kasta telah
hilang namun belum punah sepenuhnya dan efek jangka panjangnya masih terasa.
Masih banyak masyarakat yang merasa memiliki kasta tinggi bahwa dirinya lebih
mulia, lebih terhormat dan ingin lebih diistimewakan dari orang lain yang dia
anggap memiliki kasta lebih rendah meskipun tidak “sekeras” pada masa kerjaan Bali.
Melihat perkembangan jaman
yang semakin modern dimana sistem kasta
tidak memiliki tempatnya lagi untuk dilaksanakan layaknya jaman kerajaan,
sistem kasta sebaiknya ditinggalkan namun tidak perlu dihapus sepenuhnya. Dalam
penggunaan nama misalnya; seseorang tidak perlu dengan sengaja menghilangkan
titel yang dia atau keluarganya miliki, dengan pengertian bahwa titel itu hanya
sebuah nama dan tidak memiliki kekuatan apapun yang membuatnya merasa lebih
mulia dari orang lain. Titel itu juga tidak memiliki nilai jual seperti halnya
titel yang didapat setelah lulus dari perguruan tinggi dan menjadi sarjana,
dimana titel sarjana tersebut lebih bernilai dalam mencari pekerjaan namun
belum tentu pula titel tersebut membuat seseorang lebih mulia dan terhormat.
00000
D. Daftar Pustaka
1. Kembar Kerepun, Made. 2005 “Mengurai Benang Kusut Kasta”.
Denpasar: PANAKOM.
2. M. Echols, John dan Shadil, Hassan. “Kamus
Bahasa Inggris Indonesia”
cetakan XXVI: 2005 Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
3. A.C Bhaktivedanta Swami Prabhupada.
“Bhagavad-gita Menurut Aslinya”. Bhativedanta Book Trust Indonesia. 1982
4. wiana, I Ketut. 2006 “memahami perbedaan
Catur Warna, kasta dan wangsa”. Surabaya
: PARAMITA
No comments:
Post a Comment