Kita mungkin mafhum benar dengan berdarah-darahnya peristiwa 10 November di Surabaya, Palagan Ambarawa di Jawa Tengah atau gilang gemilangnya Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta, namun diantara kita adakah yang mengetahui tentang peristiwa Mandor? Atau peristiwa Perang Dayak Desa melawan Jepang yang berlangsung sengit antara tahun 1944-1945?
Pertempuran melawan kekejian kolonialisme tentu tak hanya milik kaum nasionalis Jawa kala itu, segenap rakyat, dari semua lapisan agama serta suku di semesta nusantara rasanya tak mau ketinggalan mempertahankan kehormatan dan keutuhan kerajaan, kesultanan atau bahkan sekadar mempertahankan keutuhan desa masing-masing dari cengkraman pemerintah kolonial.
Bulan lalu saya beruntung mendapat kesempatan mengunjungi Museum Negeri Kalimantan Barat. Dari sini saya mulai mendapat wawasan baru mengenai bagaiamana Suku Dayak, etnis Tionghoa dan Melayu bahu membahu mempertahankan dan merebut Bumi Kalimantan Barat dari kekejaman pemerintahan kolonial, baik dari kekuasaan kerajaan Belanda maupun Kekasiaran Jepang. Sebuah kisah peperangan yang jarang sekali dituturkan.
Meski museum yang berdiri sejak tahun 1974 ini lebih mengangkat tema budaya suku Dayak dan Melayu, namun saya tak henti menanyakan kisah sejarah peperangan di Kalimantan Barat kepada guide sekaligus kurator yang saat saya berkunjung sabar sekali menjawab pertanyaan saya satu per satu.
Berawal dari Peristiwa Mandor Berdarah
Quote:
Kesultanan Pontianak telah berdiri paling tidak sejak 1711 masehi, diprakarsai oleh Sultan Syarif Abdurahman Alkadrie, Kesultanan bercorak Islam ini menjadi cikal bakal tumbuh dan berkembangnya peradaban Melayu di tepi muara Sungai Kapuas dan Sungai Landak.
Di bawah wangsa Alkadrie, Kesultanan berulang kali mendulang masa-masa keemasan. Kehidupan kerajaan yang damai, bumi yang melimpah dan raja yang arif bijaksana menjadi faktor berkembangnya wilayah ini. Terlebih, siasat Sultan-Sultan Pontianak untuk melakukan hubungan diplomatis yang sehat dengan pemerintah kolonial Belanda membuat Kesultanan Pontianak tak banyak dirundung perkara perang dengan Kerajaan Orange itu.
Keadaan itu berlangsung lama, hingga saat pemerintah Kolonial Kerajaan Belanda tekuk lutut di hadapan kekaisaran Jepang, keadaan berubah haluan. Nampaknya cara penjajahan Jepang di seluruh wilyah tanah air lebih keji, tak terkecuali di Pontianak kala Itu. Jepang lebih pedas menentang segala sesuatu yang berlawanan dengan haluannya. Jepang tak senang dengan kesultanan dan segala aktivitas di dalamnya.
Pemerintahan Jepang selalu menaruh curiga terhadap perkumpulan para cendikia dan kehidupan lingkungan Sultan serta kekuasaan para pemilik modal. Kecurigaan ini tersulut akibat tersiarnya kabar bahwa kelak Kesultanan dan Tokoh Masyarakat akan melakukan pemberontakan masif. Jepang mendengar kabar ini, upaya antisipasi pun dilakukan pemerintahan dan pasukan militer Jepang.
Hari kelam itu pun datang, 28 Juni 1944. Berawal di daerah Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, Pasukan militer Jepang melakukan pembantaian yang keji terhadap golongan-golongan cendikia, raja-raja dan feodal – feodal etnis Tionghoa yang memiliki harta dan kekuasaan melimpah. Menurut sumber sejarah, tak kurang dari 21 ribu nyawa meregang akibat pembantaian ini. Namun demikian, Kekaisaran Jepang hanya mengklaim bahwa korban yang jatuh tak lebih dari 2000 orang.
Diyakini bahwa korban tak hanya jatuh dari golongan raja dan aristrokrat, namun juga dari rakyat jelata dan tak memiliki kuasa apapun. Pasukan jepang mendobrak pintu-pintu rumah dan melakukan pembunuhan dengan sadis, konon korban-korban ini diminta untuk menggali kuburannya sendiri, setelah itu, mereka dipancung dengan pedang samurai di atas kuburan yang telah digali tersebut. Situs sejarah pembantaian ini dapat kita temui di daerah Mandor.
Diantara tokoh penting yang turut terbunuh dengan cara dipancung adalah Pangeran Adipati dan Pangeran Agung, keduanya adalah putra Sultan Pontianak. Sedangkan Sultan Muhammad Alkadrie dan Keluarga Sultan banyak yang tewas saat di tahan di Penjara.
Monuemen di Makam Juang Mandor (Tripadvisor.com)
Amarah membuncah
Quote:
Kabar mengenai Peristiwa Mandor semakin tersiar, meski sedikit korban yang jatuh dari etnis Dayak di pelosok, namun rasa kebangsaan dan rasa senasib nampaknya mulai tumbuh di seluruh Kalimantan Barat. Terlebih, kala itu kekejian Jepang terhadap komunitas Dayak Desa di beberapa wilayah di Barat Kalimantan kian memuncak.
Usaha-usaha pemotongan kayu hasil hutan yang dikuasai Jepang tengah merajalela. Pribumi dijadikan pekerja kasar tanpa bayaran oleh pasukan Jepang. Kejadian-kejadian tak mengenakan ini kemudian dilaporkan kepada salah satu pemimpin adat di desa, Pang Dandan. Maka dengan segenap niat baik untuk berunding, beberapa petinggi Suku Dayak Desa di daerah Sikucing (kini: Tayan Hilir) seperti Pang Suma dan Pang Lingan menemui seorang mandor Jepang bernama Osaki untuk meredakan benturan antara Suku Dayak dan Pekerja Jepang.
Saat akan berdiskusi dan menemukan mufakat, Osaki justru melakukan kekerasan dan perlawanan sepihak. Pang Suma dan Pang Linggan berhasil mengelak. Alih-alih membunuh Pang Suma dan Pang Linggan, Osaki justru terbunuh terlebih dahulu oleh kedua tokoh Dayak tersebut, hampir tanpa perlawanan.
Pihak jepang semakin kalang kabut dengan terbunuhnya Osaki, Nagatani sebagai salah satu petinggi Militer Jepang menyusun strategi balas dendam dengan mempersiapkan persenjataan dan pasukan yang memadai. Mendengar kabar ini, warga segera mengadakan tradisi mangkok merah.
Tradisi Mangkok Merah
Mangkok Merah, pertanda buruk bagi pasukan jepang
Quote:
Diedarkannya mangkok merah di kalangan warga desa menandakan pernyataan perang terhadap semua tindakan hina Jepang terhadap warga dan tokoh masyarakat. Maka gerakan perang semesta Kalimantan Bagian Barat pun dimulai. Kekuatan-kekuatan pasukan dikumpulkan dan dikonsolidasi.
Di pihak Jepang, Letnan Takeo Nagatani didaulat oleh Bunken Kanrikan Miagi untuk meredakan pemberontakan. Nagatani dianggap sebagai seorang letnan yang cakap dan berpengalaman serta diperkirakan mampu menghadang serangan dari rakyat desa yang hanya berebekal senjata tradisional.
Ekspedisi penumpasan warga mulai dilancarkan, Pasukan Nagatani menyusuri wilayah Tayan hingga ke Meliau (Kini daerah Sanggau, Kalbar) menelusuri Sungai Embuan menuju Tanjak Mulung. Disana lah, perang terbuka diperkirakan akan pecah.
Belum sempat tiba di Meliau, pasukan Nagatani dihadang oleh kawanan pejuang yang sudah menanti untuk menghadang di daerah Umbuan Kunyil, Hulu Sungai Kapuas, masih setengah perjalanan menuju Meliau. Penghadangan ini dipimpin oleh Pang Suma, Pang Rati, Pang Iyo, dan Djampi. Pertempuran Pecah, dengan hunusan mandau, Nagatani tewas ditempat, sedangkan Pang Suma terkena luka tembakan di kaki bagian atas.
Meski dalam keadaan luka, Pang Suma menyerukan kepada semua Rakyat Dayak Desa untuk segera membentuk pertahanan dan menyelamatkan Meliau dari cengkraman Jepang yang semakin kebakaran janggut akibat kematian Letnan Nagatani. Dengan perjuangan gigih, dengan segenap pasukan bersenjatakan mandau, sumpit, tombak dan senapan tradisional, Meliau berhasil direbut pada 30 Juni 1945.
Hingga tanggal Juli 1945, Meliau masih dibawah kontrol rakyat Dayak Desa, hingga pada 17 Juli 1945, Pasukan Jepang merangsak masuk Meliau. Peperangan besar pecah di Meliau. Pang Suma memerintahkan agar Meliau dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Panglima adat dari desa lain seperti Panglima Ajun dan Pang Linggan turut membantu pergerakan Pang Suma.
Pang Suma gugur, Meliau jatuh ke tangan Jepang
Quote:
Pertempuran antara pasukan Jepang dan rakyat Dayak Desa pun meluas ke Wilayah pelosok Meliau, dalam salah satu kesempatan konflik terbuka, Pang Suma tertembak pangkal paha kirinya, sementara banyak panglima adat lain tewas seketika dengan tembakan-tembakan yang dilepas pasukan militer Jepang. Tak lama kemudian, di sekitar Kantor Guntyo Meliau, Panglima Ajun dan Pang Linggan, panglima lain dari desa dayak sekitar Meliau turut tertembak dengan luka yang parah.
Kekuatan rakyat Dayak Desa nampaknya tak mampu bertahan lebih lama lagi, persenjataan yang tak sebanding membuat banyak rakyat Dayak yang gugur dalam pertempuran ini. Luka tembak Pang Suma pun nampaknya semakin parah, hingga akhirnya Pang Suma gugur tak tertolong.
Spoiler for :
Peralatan Perang Suku Dayak di Museum Kalimantan Barat (Dok. Pribadi)
Dalam situasi yang tidak menguntungkan ini, Panglima Kilat, panglima dari Jangkang, Sanggau berhasil menggerakkan seluruh sisa kekuatan dan menyampaikan pengumuman Perang Dayak Desa terhadap Jepang, menghabisi Jepang yang hendak menyakiti dan merebut kebebasan Rakyat Dayak Desa.
Meski di antara tanggal 17 Juli 1945 - 31 Agustus 1945 Meliau secara teritorial telah dikuasai oleh Jepang, namun masyarakat Dayak Desa tidak tinggal diam, kendati kelima panglima Dayak Desa telah gugur, dengan sisa-sisa semangat dan tenaga, rakyat Dayak Desa tetap mempertaruhkan jiwanya untuk kedaulatan hidupnya. Untuk membebaskan saudara dan anak cucunya dari cengkraman Pemerintah Kaisar Jepang.
Meski tak berbekal mesiu dan tak bersandang senapan canggih, kegigihan Suku Dayak kala itu dalam mempertahankan tanahnya dari kesewenangan penjajahan patut kita teladani. Kisah-kisah heroik yang langka dituturkan ini harusnya -paling tidak- bisa turut diulas dalam setiap momen Peringatan Hari Pahlawan.
Meski perjuangan-perjuangan mempertahakan dan mendapatkan kemerdekaan seolah terpusat di Jawa, namun kita sebaiknya tidak menutup mata terhadap perjuangan-perjuangan masyarakat dan pahlawan yang tak dikenal namanya
Mereka adalah sosok-sosok yang berani memperjuangkan setiap jengkal tanah nusantara dari rongrongan kolonialisme. Pahlawan-pahwalan yang jarang kita kenal namanya ini rela menumpahkan darahnya dan mencurahkan segenap kemampuannya untuk menyusun pilar demi pilar persatuan, merebut kembali kedaulatan agar kelak, bangsa ini dapat dipimpin oleh kaumnya sendiri.
No comments:
Post a Comment