BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kemiskinan merupakan gejala sosial yang sangat kompleks dan multidimensi.Rantai kemiskinan terus bertambah sehingga membentuk suatu lingkaran kemiskinan yang tidak dapat diselesaikan dengan sempurna.Memang dalam realitas sosial tidak pernah dijumpai masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dan memenuhi harapan-harapan masyarakat.
Di Bali Khususnya daerah Munti Kintamani masalah kemiskinan masih menjadi momok yang menakutkan.Kemiskinan memberikan dampak yang sangat besar dalam kehidupan bermasyarakat.Kemiskinan menimbulkan masalah-masalah seperti tingginya tingkat pengangguran, kriminalitas karena rendahnya pendidikan. Sehingga hal ini memicu banyaknya orang yang mengambil profesi sebagai Pengemis.
Sebenarnya masalah kemiskinan yang berakibat banyaknya pengemis dapat diselesaikan oleh individu-individu itu sendiri.Terkadang semua itu dikarenakan oleh mereka sendiri seperti adanya sifat malas, kurang inovasi atau tingkat ketergantungan yang tinngi, sikap yang selalu pasrah, rendah hati dan selalu merasa terasingkan. Jadi setiap individu mempunyai kontribusi yang besar dalam mengubah hidupnya sendiri. Tetapi selain faktor – faktor tersebut faktor lingkungan juga mempunyai peranan yang besar terhadap pola hidup masyarakat itu sendiri.
Munculnya banyak pengemis ini merupakan dampak dari pembangunan. Dampak positif dan negatif dari pembangunan itu sendiri tak dapat dihindari pada saat ini. Munculnya banyak pengemis yang ada di daerah Munti pada khususnya merupakan dampak negative dari pembangunan itu sendiri. Keberhasilan percepatan pembangunan di perkotaan dan keterlambatan pembangunan yang ada di desa menimbulkan arus migrasi desa-kota yang antara lain memunculkan para pengemis karena sulitnya lapangan pekerjaan di pedesaan maupun perkotaan.
Masalah umum gelandangan dan pengemis pada hakikatnya erat terkait dengan masalah ketertiban dan keaman yang mengganggu ketertiban dan keamanan di daerah perkotaan. Dengan berkembangnya pengemis di duga akan memberi peluang munculnya ganguan keamanan dan ketertiban, yang pada akirnya akan mengganggu stabilitas, sehingga pembangunan akan terganggu, serta cita-cita nasional tidak dapat di wujudkan.
Munculnya banyak pengemis ini merupakan salah satu dampak dari kesejahteraan sosial yang tidak merata, rendahnya pendidikan dan lingkungan yang tidak menyediakan lapangan kerja yang memadai (keterbelakangan lingkungan itu sendiri). Hal inilah yang membuat kami tertarik untuk meneliti bagaiman kehidupan para pengemis khususnya yang ada di daerah Munti, Kintamani Bali.
1.2 Rumusan Masalah
A. Apakah yang menyebabkan banyaknya pengemis, khususnya di daerah Munti Kintamani Provinsi Bali?
B. Apakah alasan mereka menjadi seorang pengemis?
C. Bagaimanakah pola kehidupan sehari-hari para pengemis?
D. Bagaimana tindakan pemerintah untuk mengurangi banyaknya pengemis?
BAB II
GAMBARAN UMUM
Siapa yang tidak tahu Desa Munti Gunung, Perbekelan Tianyar Barat, Kubu, Karangasem. Desa berbatasan dengan Songan, Kintamani di barat dan Tejakula di utara ini selain terkenal tandus, dikenal juga ada ratusan warganya suka menjadi gelandangan dan pengemis. Gepeng yang umumnya ibu rumah tangga mengajak anak-anaknya meminta-minta hampir di tiap persimpangan jalan di kota besar seperti Denpasar, Kuta, Klungkung dan Gianyar.
Di lingkungan sekitar kita sekarang ini khususnya di daerah Munti, Kintamani masih sangat banyak kita jumpai sampai sekarang orang-orang yang berprofesi sebagai Pengemis, yang sering disebut oleh masyarakat sekitar dengan sebutan “GEPENG” (gelandangan dan pengemis). Mereka adalah orang-orang yang pada umumnya memiliki kehidupan yang tidak cukup serta tidak memiliki pekerjaan. Hidup mereka juga tidak menentu setiap harinya. Khususnya dalam mendapatkan sandang dan pangan. Para gelandangan dan pengemis juga sangat rentan terlibat dalam tindakan-tindakan kriminal, hal ini dikarenakan pola pikir mereka yang pendek dan tidak didasari pendidikan yang memadai.
Dari data jumlah gepeng yang dikembalikan dari kabupaten/kota lain, tiap tahun cenderung meningkat. Gubernur Bali Dewa Made Beratha saat kunjungan kerja akhir tahun beberapa waktu lalu di depan ratusan warga Munti Gunung minta warga setempat yang masih suka menggepeng menghentikan kebiasaannya itu. Soalnya, meminta-minta merupakan pekerjaan hina dan karenanya bisa menjatuhkan harga diri.
Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (1992), Gelandangan merupakan orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan pengemis adalah orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di tempat umum dengan berbagai alas an untuk mendapatkan belas kasihan dari orang-orang.
Ali, dkk. (1990), menyatakan bahwa gelandangan berasal dari kata gelandang yang berarti selalu mengembara atau berkelana. Di samping itu mereka juga menyatakan bahwa gelandangan khususnya pengemis merupakan lapisan sosial, ekonomi dan budaya paling bawah dalam stratifikasi masyarakat kota. Dengan strata demikian maka gelandangan merupakan orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal atau rumah, tidak memiliki pekerjaan tetap, berkeliaran di dalam kota, minim-minum dan tidur di sembarang tempat. Hal inilah yang memicu para gelandangan memiliki profesi sebagai pemulung, pengemis dan pedagang kaki lima.
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita simpulkan bahwa kehidupan gelandangan dan pengemis dapat dibagi dalam tiga gambaran umum, yaitu yang pertama sekelompok orang miskin atau orang yang dimiskinkan oleh masyarakatnya. Yang kedua adalah orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, dan yang ketiga adalah orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan.
BAB III
METOLOGI
1.1 Metode Kajian Pustaka
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kajian pustaka. Metode ini merupakan metode dengan proses pengumpulan data dengan mengambil data dari buku-buku yang ada, baik itu dari perpustakaan, internet, maupun media cetak.
1.2 Metode Wawancara
Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode wawancara. Metode ini merupakan metode yang proses pengumpulan datanya di dapatkan melalui hasil wawancara secara langsung di tempat penelitian. Imformasi bersumber langsung dari responden yang di teliti selaku narasumber.
BAB IV
PEMBAHASAN
1.1 Penyebab Banyaknya Pengemis.
Begitu banyaknya pengemis yang ada di sekitar kita khususnya di daerah Munti Bali tentunya timbul karena adanya berbagai macam faktor, baik itu faktor internal (dari dalam) dan faktor eksternal(dari luar).
a. Faktor Internal
Yaitu faktor yang berasal dari diri individu itu sendiri. Faktor ini meliputi :
v Adanya sifat malas :
Artinya adanya sifat yang tidak mau berusaha dengan sungguh – sungguh. Sifat malas pasti pernah hinggap di setiap individu tetapi malas disini adalah malas yang berlangsung terus menerus sehingga tidak bisa berfikir secara produktif. Sifat malas ini menyebabkan sifat ketergantungan yang tinngi kepada orang lain. Ini juga diakui sendiri oleh beberapa pengemis yang telah kami wawancarai bahwasanya dasar utama mereka untuk menjadi pengemis adalah rasa malas, mereka juga berpikiran bahwa jalan pintas dianggap pantas bagi kehidupan mereka. Tanpa perlu dasar pendidikan yang tinggi dan tanpa mengeluarkan banyak pikiran mereka mendapatkan penghasilan yang cukup.
v Adanya Cacat Fisik :
Artinya adalah seseorang yang mempunyai cacat fisik cenderung merasa dirinya kurang, tidak percaya diri dan akhirnya akan merasa terasinggkan. Memang benar dalam kenyataannya seseorang yang mengalami cacat fisik sering mendapatkan diskriminasi dari orang-orang disekelilingnya. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya pelamar pekerjaan yang ditolak karena mereka cacat fisik. Memang hal ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena mereka (perusahaan) dalam menjalankan bisnisnya tidak hanya mengandalkan rohani tetapi juga jasmani. Selain itu juga mereka ( penderita cacat ) secara tidak langsung mendapatkan diskriminasi dari pada akses-akses umum seperti tidak adanya fasilitas seperti tangga jalan khusus bagi penderita lumpuh di tempat pembelanjaan tetapi sekarang sudah ada beberapa tempat perbelanjaan yang menyediakan akses tersebut.
v Sifat Ketergantungan yang Tinggi :
Sifat ketergantungan yang tinggi bisa disebabkan adanya ketidaksiapan dalam menghadapi suatu problema hidup karena sejak kecil tidak belajar kemandirian. Disini peran keluarga sangat mempengaruhi khusnya kedua orang tua. Jika sejak kecil anak tersebut tidak diajarkan sifat mandiri, selalu dimanja yang berlebihan maka ketika besar kelak, ketika ia terjun di masyarakat ia belum siap menghadapi permasalahan yang ada.
b. Faktor Eksternal
Yaitu factor-faktor yang berasal dari luar individu sendiri. Faktor eksternal itu seperti :
v Sempitnya Lapangan Pekerjaan :
Dari tahun – ketahun laju pertumbuhan penduduk indonesia semakin meninggkat. Meningkatnya jumlah penduduk tidak diimbangi dengan bertambanya lapangan pekerjaan. Jadi dengan adanya keterbatasan lapangan pekerjaan ini menyebabkan banyak pengemis di daerah kita.
v Kesenjangan Sosial :
Kesenjangan yang terjadi antara “si miskin dengan “si kaya” seolah – olah ada tembok besar yang menghalangi mereka. Jadi “si miskin” merasa minder dan merasa dikucilkan. Padahal kesenjangan sosial akan berdampak adanya tindakan kriminalitas. “si miskin” bisa saja melakukan tindakan yang melanggar hukum seperti pencurian karena mereka merasa tidak memiliki satu sama lain,meskipun berdekatan mereka merasa tidak menjadi bagian dari hidup mereka. “Si kaya cenderung menganggap sebelah mata dan tidak diajak ikut andil dalam mengambil suatu keputusan. Kesenjangan sosial dapat disebabkan oleh industrialisasi yang berdampak mengubah pola organisasi masyarakat. Hal inilah salah satu penyebab pemicu munculnya pengemis di sekitar kita.
v Kebijakan-Kebijakan Pemerintah :
Kebijakan pemerintah seperti naiknya bahan bakar minyak ( BBM ), barang – barang pokok dan lain sebagainya menambah penderitaan mereka. Meraka yang miskin tambah miskin. Selain itu mereka para produsen dengan adanya kenaikan tarif pajak mereka banyak yang gulung tikar karena dengan adanya kenaikkan tarif pajak maka secara otomatis barang produksi harganya akan naik sehinnga konsumen enggan membeli barang tersebut. Apalagi tingginya pajak ekspor menyebabkan para produsen enggan untuk mengeksport barang – barang mereka akibatnya mereka tidak bisa berkembang. Apalagi yang terjadi akhir – akhir ini banyak produk luar negeri yang masuk ke Indonesia seperti china dengan skala besar mengeksport barang – barang mereka yang harganya jauh lebih murah,karena adanya kenaikkan bahan baku produksi maka produsen lokal tidak dapat bersaing yang akhirnya akan gulung tikar.
v Culture atau Budaya :
Kebudayaan / culture dapat mempengaruhi sikap seseorang. Apalagi adat istiadat yang sudah berlangsung turun temurun. Seperti ada anggapan bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan yang tinngi, tidak boleh jauh dari orang tua dan lain sebagainya. Kondisi seperti ini akan menyebabkan minimnya ilmu pengetahuan dan akhirnya tidak produktif. Seperti kata pepatah jawa makan ga makan yang penting ngumpul pepatah seperti itu dapat mengandung makna bahwa meskipun tidak ada uang untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka tetap bersama – sama,tidak seorangpun yang keluar daera / merantau untuk berusaha mencukupi kebutuhan hidup.
1.2 Alasan Para Pengemis Khususnya di Daerah Munti Gunung Menjadi Seorang Pengemis.
Banyak alasan para penduduk khususnya daerah Munti menjalani profesi sebagai seorang pengemis. Menurut beberapa orang yang telah kami wawancarai dapat kami simpulkan bahwa alas an-alasan mereka menjadi seorang pengemis adalah sebagai berikut :
a. Karena tuntutan kehidupan yang mengharuskan mereka menyambung kehidupan mereka sendiri dan keluarga mereka, sementara mereka tidak memiliki pendidikan yang memadai dan daerah mereka tidak menyediakan pekerjaan.Selain itu sangat minimnya tempat pendidikan, seperti sekolah, di daerah ini hanya ada satu sekolah dasar, yang tentu tidak dapat menjamin cukupnya ilmu pengetahuan mereka. Seperti kita ketahui saja pada saat sekarang ini orang yang bergelar serjana pun saja belum tentu bisa mendapatkan pekerjaan. Begitu pula dengan mereka, yang hanya lulusan SD.
b. Di samping itu juga mereka bisa medapatkan uang secara instan atau mudah tanpa harus bekerja terlalu keras atau memiliki keterampilan khusus, juga dengan modal yang sangat minim. Karena dalam hidup ini mereka tidak memiliki aset ekonomi khususnya warisan yang ditinggalkan oleh keluarga mereka terdahulu. Hanya dengan menunjukkan raut wajah yang penuh dengan kesedihan mereka mampu mendapatkan simpati dari banyak orang sehingga orang-orang akan memberikan mereka uang untuk mengganjal perut.
c. Adanya rasa malas dan iri melihat beberapa pengemis yang mereka kenal mendapat penghasilan lebih dari mereka yang bekerja. Secara tidak mereka sadari penghasilan para pengemis ini per harinya lebih dari cukup untuk sekedar makan, minum dan menyewa penginapan.
d. Informasi yang mereka dapatkan bahwa tidak jarang penghasilan seorang pengemis perbulannya lebih besar dari pegawai negeri. Lebih dari 100.000,- (seratus ribu rupiah) per harinya, jika satu bulan mereka akan mendapatkan penghasilan kurang lebih 3.000.000,- (tiga juta rupiah). Hal ini yang membuat mereka tergiur dan melakoni terus profesi tersebut.
e. Karena mereka tergabung dalam sebuah organisasi yang dipimpin oleh seorang ketua yang bila mana hasil pendapatan mereka dibagi setelah akhir bulan sama halnya dengan orang yang memiliki pekerjaan yang layak. Sistem pekerjaan ini terorganisir secara teratur, salah seorang dari mereka menjadi Ketua. Biasanya orang yang menjadi ketua adalah orang yang paling kaya dan mau memberi mereka upah dengan syarat mereka menjalankan pekerjaan itu dan menyerahkan hasil mereka sesuai target yang ditentukan oleh ketua setiap bulannya. Jika mereka tidak mengikuti system ini atau bekerja tanpa ada naungan organisasi terkadang akan membuat mereka tersisihkan. Hal ini yang mengharuskan mereka berjuang sendirian.
f. Mereka tidak membutuhkan atau menyewa tempat tinggal atau lapak untuk mendapatkan hasil. Tidak seperti pedagang yang setiap bulannya mengeluarkan uang untuk tempat usaha. Mereka telah membagi daerah tempat mengemis mereka masing-masing, mereka juga tidak perlu membayar tempat, jika orang lain memasuki daerah mereka maka mereka akan melakukan sebuah tindakan untuk mempertahankan daerah pencarian mereka.
g. Bagi anak-anak jalanan mereka kadang mendapat ancaman atau paksaan dari preman-preman untuk mengemis. Yang selanjutnya hasil mengemis mereka harus diserahkan pada preman tersebut, dan mereka hanya diberi makan.
h. Ada keuntungan tersendiri bagi mereka yang telah melakoni profesi ini khususnya bagi yang tertangkap oleh petugas POL PP, karena mereka yang tertangkap akan diberikan modal untuk membuka usaha yang baru sebagai mata pencaharian mereka agar mereka tidak menjadi pengemis lagi, sehingga taraf kehidupan mereka akan lebih baik, (tapi tidak semua yang tertangkap diberikan modal oleh para petugas pemerintah).
1.3 Pola Kehidupan Sehari-hari Para Pengemis di Daerah Munti
Banyak warga kintamani tidak mempercayai bahwa di desa tersebut banyak terdapat para pengemis, yang membuat mereka tidak mempercayai hal tersebut adalah kehidupan warga munti yang mapan, namun di balik kepercayaan masyarakat tersebut tersimpan bahwa masyarakat Munti adalah kebanyakan menjadi pengemis di kota-kota besar yang ada di Bali.
Kebanyakan dari mereka telah bekerja sebagai pegawai toko, pegawai negeri sipil, pedagang, dan pejual kerajinan. Namun saat –saat tertentu mereka pergi ke kota besar seperti Denpasar untuk mengemis. Mereka melakukannya karena ini adalah cara termudah untuk mendapat penghasilan tambahan, bahkan di daerah mereka seseorang yang tidak mengemis akan di kucilkan oleh warga desa mereka. Karena mengemis bagi mereka adalah suatu keharusan.
Pola kehidupan mereka sehari-hari tidak menuntu, kadang sepulang dari mengemis mereka melakukan cocok tanam di ladang. Di samping itu mereka juga tetap berkumpu dengan anggota mereka sambil mengatur rencana ke depannya. Bagi para ibu-ibu setelah mereka selsai melakukan pekerjaanya sebagai pengimis, sesampai di rumah mereka menjadi ibu rumah tangga seperti biasanya lagi, dan tinggal menerima upah dari bos hasil mengemis.
Anehnya mereka tidak mau mengemis di daerah mereka, dan yang lebih aneh lagi mereka tidak mau mengakui kalau mereka pergi mengimis kalau di tanyai oleh warga desa lain, mereka mengakui kalau diri mereka kerja di kota. Kebanyakan yang pergi megemis ke kota adalah ibu dan anak-anak, sedangkan bapak-bapak hanya bisa tinggal di rumah sambil menjaga rumah dan anak-anaknya, kadang kala mereka menyewakan anaknya ke pengemis yang lain dengan harga yang cukup tinggi demi memperoleh keuntungan tampa memikirkan resiko yang di tanggung.
Sifat mereka aneh sekali, para kepala keluarga tidak mau melarang, tapi malah menganjurkan anak dan istri mereka untuk pergi mengemis, kepala keluarga di desa tersebut tidak lagi memikirkan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya. Sehingga banyak anak-anak di desa tersebut yang buta huruf dan ke terblakangan teknologi. Meskipun demikian orang-orang di sana tidak terlalu memikirkan hal tersebut, seolah-olah yang di pikirkan hanya uang, tidak memikirkan pendidikan dan hal yang lain, tidak seperti masyarakat lainnya.
1.4 Tindakan Pemerintah Untuk Mengurangi Pengemis
Tindakan dalam menangani masalah ini memang sangat sulit untuk dilakukan. Pemerintah sampai sekarang belum mampu sepenuhnya menangani masalah ini, meskipun pemerintah telah melakukan berbagai macam upaya untuk menenganinya. Jangankan untuk menghapus pengemis dalam Negara ini, menguranginya pun pemerintah belum mampu melakukannya secara maksimal. Adapun beberapa upaya pemerintah dalam menangani dan mengurangi pengemis itu antara lain :
a. Dimuatnya sebuah pasal dalam Undang-Undang 45 yang menyatakan bahwa anak-anak terlantar dan fakir miskin serta gelandangan dipelihara oleh Negara. Namun hal ini belum mampu ditanggulangi sepenuhnya oleh pemerintah, pemerintah belum mampu memelihara dan memberi biaya sepenuhnya kepada mereka.(menanggulangi)
b. Mengadakan razia pengemis secara berkala untuk mengurangi jumlah pengemis. Namun jalan ini belum mampu juga mengurangi jumlah pengemis yang ada. Tak dapat di pungkiri juga, karena para pengemis tersebut berpindah-pindah, hal ini yang membuat para petugas kesulitan untuk menangkap para pengemis. Jadi pemerintah sudah melakukan tugas dengan sepenuh mungkin.
c. Di bentuknya berbagai macam panti sosial demi memberikan kesempatan kerja lebih baik bagi pengemis yang terjaring dalam razia. Namun para pengemis tetap kesulitan memperoleh pekerjaan yang layak. Di samping itu pekerjaan yang di sediakan pemerintah tidak cocok dengan mereka. Hal ini karena keterbatasan pendidikan mereka.
d. Membuka kesempatan kerja bagi para pengemis dengan meningkatkan perkembangang Usaha Kecil Menengah. Namun hanya orang-orang yang memiliki keahlian yang bisa diterima kerja. Tentu hal ini yang membuat orang yang tidak mempunyai skill tersebut kesulitan, sehingga mereka tidak punya pilihan lain selain menjadi seorang pengemis.
e. Meningkatkan pendidikan di daerah – daerah tertinggal guna meningkatkan kesempatan kerja yang bisa di peroleh. Meskipun sarana tersebut tidak tertunjang oleh adanya fasilitas yang cukup memadai, seperti hal nya tenaga guru. Satu hal yang paling penting adalah infrastruktur yang sangat minim.
f. Membuka dan meningkatkan perekonomian daerah – daerah tertinggal sehingga mereka tidak perlu pergi ke kota dan akhirnya menjadi pengemis untuk bertahan hidup. Dan meningkatkan pembangunan daerah – daerah tertinggal sehingga roda perekonomian dapat berkembang.
g. Dikeluarkannya fatwa ( larangan ) MUI (Majelis Ulama Indonesia) bahwa mengemis itu hukumnya haram, dari segi agama, demikian hal ini tidak di perdulikan, karena pengemis yang ada di bali adalah bermayoritas beragama Hindu.
BAB V
KESIMPULAN
Pada hakikatnya pengemis berkembang dalam masyarakat kita ini secara alamiah, secara turun temurun dan tidak memperdulikan latar belakang seseorang itu sendiri, karena hal ini dipicu oleh tingkat pendidikan mereka yang rendah dan faktor-faktor baik internal maupun faktor eksternal. Sekeras apapun pemerintah berusaha mencegahnya masih belum membuahkan hasil, hal ini karena kurangnya kesadaran mereka akan tidak etisnya pekerjaan mereka sebagai pengemis. Padahal keadaan keluarga mereka yang jadi pengemis khususnya yang berasal dari Munti memiliki keluarga yang mapan, namun mengemis telah menjadi kebiasaan yang tidak dapat dipisahkan dari mereka. Hal inilah yang menjadi tugas pemerintah dalam menanggulangi agar para penduduk tidak memiliki pola pikir bahwa mengemis itu sangat menguntungkan dan pantas untuk mereka kerjakan.
BAB VI
BIODATA RESPONDEN
Hasil wawancara yang kami dapatkan langsung dari pelakunya
Nama responden : I. Nyoman Sungsih
Alamat : Desa Munti
Umur : 23
HASIL WAWANCARA
Penulis : sudah berapa lama jadi pengemis bu?
Responden : saya sudah mengemis dari kecil, dulu di gendong-gendong sama ibu saya.
Penulis : trus ngapaen ibu sekarang sediri ngemis nya, gak sama anak ?
Responden : ibu saya sudah meninggal, karena kaget, trus jatuh sakit waktu di tangkap sama SAT POL PP.
Penulis : di tangkap di mana?
Responden : di Gianyar
Penulis : jadinya ibu yang ngelanjutin kerjaan ibu yang sudah meninggal?
Responden : iya
Penulis : berapa penghasilan ibu per hari nya?
Responden : kalau lagi rame, saya bisa mendapat 100 ribu sampai sampai 140 ribu, tapi kalau lagi sepi ea ciman dapat 50 ribu.
Penulis : trus ibu gak takut kalau kena rahazia?
Responden : kan bisa lari
Penulis : apa ibu gak di kejar?
Responden : di kejar si, tapi senbunyi, capek ibu dikejar gus
Penulis : trus uang yang ibu dapat di bawa ke mana?
Responden : saya punya bos, kalau di tangkap, kadang-kadang dia yang nebus
Penulis : ibu nyetor sama bos tiap hari atau per bulan?
Responden : oh,,, saya nyetornya sebulan sekali!!!!!!!!!!!!!!
Penulis : berapa bu?
Responden : cuma 400 ribu
Penulis : ibu sendirian yang punya bos?
Responden : tidak gus, saya berbanyak
Responden : makanya bos saya itu kaya
Penulis : apa ibu gak di larang sama keluarga?
Responden : tidak gus, kan keluarga saya pengemis semua
Penulis : ooohhhhhhhhhhh gitu ea bu???!!!!
Penulis : apa ibu gak pengen berhenti jadi pengemis? Atau cari pekerjaan yang lebih?
Responden : tidak gus, pekerjaan jadi pengemis enak, banyak keuntungannya, hehehehe
Penulis : sukseme bu
izin copas gan..
ReplyDelete