Sunday, April 3, 2011

Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN


1.1           Latar belakang

Berbicara tentang Hak Asasi Manusia, berarti berbicara tentang hak manusia yang paling dasar dan fundamental. Setiap manusia di muka bumi berhak atas hak ini dan dimanapun tempat mereka tinggal seharusnya Hak Asasi Manusia harus dijunjung tinggi. Walaupun konteks praktis dari Hak Asasi Manusia ini tidak bisa seragam dan sama di setiap negara, tetapi setiap negara setidaknya mempunyai pikiran ideal yang sama mengenai Hak Asas Manusia ini. Manusia sebagai pribadi maupun sebagai rakyat/ warga negara, dalam mengembangkan diri, berperan dan memberikan sumbangan dalam kehidupan, ditentukan oleh pandangan hidupnya sesuai dengan kepribadian bangsa.
Pandangan dan kepribadian bangsa Indonesia yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, telah menempatkan manusia pada keluhuran harkat dan martabat makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran mengemban kodratnya sebagai makhluk pribadi dan juga makhluk sosial, tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh dan bulat itulah yang dirumuskan menjadi dasar negara.
Hak Asasi Manusia yang dijunjung tinggi oleh setiap negara termasuk Indonesia, harus memiliki landasan yang kuat baik dalam ideologi maupun konstitusi. Hal ini karena permasalahan tentang hak asasi manusia sangat rentan terjadi. Jadi perlu adanya ketegasan dan ketetapan yang betul-betul bisa mengatur Hak Asasi Manusia tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1.   Apakah pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) itu?
  1. Bagaimanakah perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia?
  2. Nilai apa sajakah yang terkandung dalam Hak Asasi Manusia?

 Tujuan
  1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan HAM serta apa penjelasan dari Hak Asasi Manusia itu.
  2. Untuk mengetahui perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
  3. Untuk Mengetahui nilai-nilai yang terkandung pada HAM.

1.4 Metode Penelitian
      Metode yang kami gunakan adalah metode kajian pustaka sehingga data-data yang  ada bersumber dari buku-buku pustaka. Dan kebenaran dari data-data yang kami miliki dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya.







BAB 2

PEMBAHASAN

1.1  Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dipunya seseorang sejak ia besar dan merupakan pemberian dari Tuhan. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1. Contoh Hak Asasi Manusia antara lain Hak untuk hidup, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain, dan lain-lain.
Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. Sedangkan hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan negara.
Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik
kesimpulan tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu :
a. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari        manusia secara otomatis.
b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.
c. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.

1.2 Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Pemahaman Ham di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama. Secara garis besar Prof. Bagir Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia ( 2001 ), membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di Indonesia dalam dua periode yaitu periode sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 ), periode setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang ).
A. Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )
• Boedi Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah  memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
• Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
• Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
• Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.
• Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
• Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
• Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.
B. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )
1.  Periode 1945 – 1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
2. Periode 1950 – 1959
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing – masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
3. Periode 1959 – 1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.
4. Periode 1966 – 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak – hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta Kewajiban Warganegara.
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia.
Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan masyarakat akademisi yang concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993.
Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.


5. Periode 1998 – sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa penentuan perundang – undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara ( Undang – undang Dasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang – undangam lainnya.




1.3 Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Hak Asasi Manusia
Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. Sedangkan hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan negara.
Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu :
a. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.
c. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.
Secara umum, di dunia internasional pembidangan hak asasi manusia mencakup hak-hak sipil dan hak politik, hak bidang ekonomi, sosial, dan budaya, serta hak-hak atas pembangunan. Hak-hak tersebut bersifat individual dan kolektif, adapun bagiannya adalah sebagai berikut;
a. Hak-hak sipil dan politik:
    Hak-hak bidang sipil mencakup, antara lain:
1. Hak untuk menentukan nasib sendiri
2. Hak untuk hidup
3. Hak untuk tidak dihukum mati
4. Hak untuk tidak disiksa
5. Hak untuk tidak ditahan sewenang-wenang
6. Hak atas peradilan yang adil
    Hak-hak bidang poltik antara lain:
1. Hak untuk menyampaikan pendapat
2. Hak untuk berkumpul dan berserikat
3. Hak untuk mendapat persamaan perlakuan di depan hukum
4. Hak untuk memilih dan dipilih
b. Hak-hak Ekonomi, Sosial dan budaya:
    Hak-hak bidang sosial dan ekonomi, antara lain:
1. Hak untuk bekerja
2. Hak untuk mendapat upah yang sama
3. Hak untuk tidak dipaksa bekerja
4. Hak untuk cuti
5. Hak atas makanan
6. Hak atas perumahan
7. Hak atas kesehatan
8. Hak atas pendidikan
    Hak-hak bidang budaya antara lain:
1. Hak untuk berpartisi dalam kegiatan kebudayaan
2. Hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan
3. Hak untuk memperoleh perlindungan atas hasil karya cipta (Hak Cipta)
c. Hak Pembangunan
1. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat
2. Hak untuk memperoleh perumahan yang layak
3. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai.
Permasalahan tentang hak asasi manusia adalah permasalahan yang sangat kompleks. Hak Asasi Manusia memiliki cakupan yang sangat luas karena berdasar atas hak-hak kemanusiaan seseorang. Permasalahan tentang HAM ini pasti akan terjadi di setiap negara. Bagi yang merasa tertindas dan terzalimi, HAM pasti dijadikan dasar untuk melakukan balasan kepada lawannya yang menindas sebelumnya. Padahal belum tentu yang merasa ditindas tadi adalah orang yang ditindas Hak Asasi Manusianya.
Hal demikian bisa terjadi karena pengakuan terhadap HAM di Indonesia mempunyai akar yang sangat kuat. Khususnya dalam kehidupan ideologi negara Indonesia. Di Undang-undang no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia dinyatakan beberapa hal yang berkaitan dengan alasan nilai-nilai HAM harus diaktualisasi dalam kehidupan Ideologi Negara Indonesia. Adapun diantaranya:
1. Negara Indonesia mengakui bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan mertabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya
2. Negara Indonesia mengakui bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun
3. Negara Indonesia mengakui bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
4. Negara Indonesia sebagai anggota Perserikatan bangsa-bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen Internasional lainnya mengenai Hak Asasi Manusia yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia
Pandangan dan kepribadian bangsa Indonesia yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, telah menempatkan manusia pada keluhuran harkat dan martabat makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran mengemban kodratnya sebagai makhluk pribadi dan juga makhluk sosial, tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh dan bulat itulah yang dirumuskan menjadi dasar negara.

BAB 3
PENUTUP
1.1  Kesimpulan
Dari pemaparan materi diatas, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1.      Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati    dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi.
2.     Di Indonesia pembidangan hak asasi manusia mencakup hak-hak sipil dan hak politik, hak bidang ekonomi, sosial, dan budaya, serta hak-hak atas pembangunan.
1.2  Saran
Adapun saran – saran yang penulis sampaikan dalam makalah ini adalah sebagai berikut yaitu :  Bagi setiap pembaca makalah ini agar mampu menghargai Hak Asasi Manusia orang lain dengan tulus, karena Hak Asasi Manusia tersebut adalah jiwa bangsa Indonesia yang harus diemplementasikan seluruh bangsa Indonesia dengan baik






DAFTAR PUSTAKA
-      Alkostar,Artidjo, Pengadilan HAM, Indonesia, dan peradaban, Pusham UII, 2004
-      http// : www.kapan lagi. Com
-      http//:www.sekitarkita.com
-      Encop Sophia, Farkha Ciciek, Ratna Batara munti; Respon Islam atas pembakuan peran perempuan penerbit: LBH APIK Jakarta, 2005.
-      Jakarta: Balai Pustaka,1996. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM RI. 2005

“LANGUAGE AND RHETORIC”

When we consider the use of language in plays, we always concerned with the dramatic effectiveness of the playwright’s intentions. There is no plain or fancy description: there is first and only dialogue and our analysis of the language of play is therefore no more than a surveys of how certain characters speak.
Language characterization and humor:  While dialogue in plays first and foremost defines the characters as they speak, dialogue also is tantamount to the definition of relationships within the play. The language that a particular character uses when talking to one person in the play will be altogether different from the language he uses when talking to another character.
 As we see different kinds of language employed by the same character throughout the play, we slowly are led both to an understanding of the rounded personality of that character and to an understanding of the relationships he has with other characters. So, the student should be able to take any extended dialogue between two or more characters and show the ways in which the language used in the dialogue define the relationships of the play.
Figurative language: All playwrights make use of figurative language, that is, the playwrights state things in other than literal ways. An analogy points up the similarity between one thing and another. In examining the speeches the student should pay attention to:
                                i.            Alliteration – the repetition of the similar words placed closely together. A character often delivers a long line in which every word starts with the same letter or sound.
                              ii.            Antithesis – the use of opposite terms very closely together in order to create humor or tension. This is very common in Elizabethan and Restoration plays.
                            iii.            Cacophony – the presentation of harshly blending sound, this is really another word for “dissonance”.
                            iv.            Epithet – the word or phrase used to characterize someone in the briefest possible way. This used describe a particular character in light by what other characters said about him.
                              v.            Euphemism – the elaborate way in saying something. Sometimes characters use embellishing language, making everything seem more romantic or wondrous than in reality.
                            vi.            Euphony – the use of sweetly agreeing sounds in speech or harmonious sounds which are pleasing.
                          vii.            Images – the imaginative ways of describing people and objects. Instead of simply presenting the literal description, the playwright associates the thing described with other thing.
                        viii.            Paradox – the use of self contradictory ideas, words, or images that used to emphasize or draw the attention to some particular aspect of an object or person.
                            ix.            Periphrases – or the circumlocution, the longwinded roundabout way of saying something, this usually done by “stretching out” the remarks for dramatic effect.
                              x.            Personification – the attribution of lifelike or human attributes to inanimate objects or ideas, each instance bestowing life on the inhuman.
High and low language: We are able to determine the play whether the language on the whole is “high” or “low”. The use of allusion mention the faraway exotic-sounding places transports the audience quickly into a higher realm; the allusion to places the people presents a sense of grandeur and elevates the import of a speech.
One aspect of low style is the use of colloquial or vernacular language; the colloquial writing is that which uses the rude language. It is important to identify the range of the language because we need to determine the conventions within which the playwright is working and one of our tasks is to define the world of play.
Convention of dramatic language: One of the considerations when approaching the language of any play is whether or not the language of any particular character is appropriate to his type. Playwrights tend to conform to the conventions of dramatic language and thus some of their preliminary work is done for them. Each kind of play is itself a convention. Certain kinds of characters in certain kinds of plays must speak in certain kinds of language. Audience expectations are one of the dramatists’ tools, but the dramatists’ do not need to enter an ending that logically the result of all plots. Language itself is a plurality of modes of expression and the playwrights really have no excuse not to have characters of different kinds easily talking in different way. 

Climate change

Climate change

Climate change is a change in the statistical distribution of weather over periods of time that range from decades to millions of years. It can be a change in the average weather or a change in the distribution of weather events around an average (for example, greater or fewer extreme weather events). Climate change may be limited to a specific region, or may occur across the whole Earth.
In recent usage, especially in the context of environmental policy, climate change usually refers to changes in modern climate (see global warming). For information on temperature measurements over various periods, and the data sources available, see temperature record. For attribution of climate change over the past century, see attribution of recent climate change.

Causes

Factors that can shape climate are often called climate forcings. These include such processes as variations in solar radiation, deviations in the Earth's orbit, mountain-building and continental drift, and changes in greenhouse gas concentrations. There are a variety of climate change feedbacks that can either amplify or diminish the initial forcing. Some parts of the climate system, such as the oceans and ice caps, respond slowly in reaction to climate forcing because of their large mass. Therefore, the climate system can take centuries or longer to fully respond to new external force.

Plate tectonics

Over the course of millions of years, the motion of tectonic plates reconfigures global land and ocean areas and generates topography. This can affect both global and local patterns of climate and atmosphere-ocean circulation.
The position of the continents determines the geometry of the oceans and therefore influences patterns of ocean circulation. The locations of the seas are important in controlling the transfer of heat and moisture across the globe, and therefore, in determining global climate. A recent example of tectonic control on ocean circulation is the formation of the Isthmus of Panama about 5 million years ago, which shut off direct mixing between the Atlantic and Pacific Oceans. This strongly affected the ocean dynamics of what is now the Gulf Stream and may have led to Northern Hemisphere ice cover. Earlier, during the Carboniferous period, plate tectonics may have triggered the large-scale storage of carbon and increased glaciation. Geologic evidence points to a "megamonsoonal" circulation pattern during the time of the supercontinent Pangaea, and climate modeling suggests that the existence of the supercontinent was conductive to the establishment of monsoons.
More locally, topography can influence climate. The existence of mountains (as a product of plate tectonics through mountain-building) can cause orographic precipitation. Humidity generally decreases and diurnal temperature swings generally increase with increasing elevation. Mean temperature and the length of the growing season also decrease with increasing elevation. This, along with orographic precipitation, is important for the existence of low-latitude alpine glaciers and the varied flora and fauna along at different elevations in montane ecosystems.
The size of continents is also important. Because of the stabilizing effect of the oceans on temperature, yearly temperature variations are generally lower in coastal areas than they are inland. A larger supercontinent will therefore have more area in which climate is strongly seasonal than will several smaller continents and/or island arcs.

Solar output

Main article: Solar variation

Variations in solar activity during the last several centuries based on observations of sunspots and beryllium isotopes.
The sun is the predominant source for energy input to the Earth. Both long- and short-term variations in solar intensity are known to affect global climate.
Early in Earth's history the sun emitted only 70% as much power as it does today. With the same atmospheric composition as exists today, liquid water should not have existed on Earth. However, there is evidence for the presence of water on the early Earth, in the Hadean and Archean eons, leading to what is known as the faint young sun paradox. Hypothesized solutions to this paradox include a vastly different atmosphere, with much higher concentrations of greenhouse gases than currently exist Over the following approximately 4 billion years, the energy output of the sun increased and atmospheric composition changed, with the oxygenation of the atmosphere being the most notable alteration. The luminosity of the sun will continue to increase as it follows the main sequence. These changes in luminosity, and the sun's ultimate death as it becomes a red giant and then a white dwarf, will have large effects on climate, with the red giant phase possibly ending life on Earth.
Solar output also varies on shorter time scales, including the 11-year solar cycle and longer-term modulations. The 11-year sunspot cycle produces low-latitude warming and high-latitude cooling over limited areas of statistical significance in the stratosphere with an amplitude of approximately 1.5°C. But although "variability associated with the 11-yr solar cycle has a significant influence on stratospheric temperatures. ...there is still no consensus on the exact magnitude and spatial structure". These stratospheric variations are consistent with the idea that excess equatorial heating can drive thermal winds. In the near-surface troposphere, there is only a small change in temperature (on the order of a tenth of a degree, and only statistically significant in limited areas underneath the peaks in stratospheric zonal wind speed) due to the 11-year solar cycle. Solar intensity variations are considered to have been influential in triggering the Little Ice Age, and for some of the warming observed from 1900 to 1950. The cyclical nature of the sun's energy output is not yet fully understood; it differs from the very slow change that is happening within the sun as it ages and evolves, with some studies pointing toward solar radiation increases from cyclical sunspot activity affecting global warming.

Orbital variations

Slight variations in Earth's orbit lead to changes in the amount of sunlight reaching the Earth's surface and how it is distributed across the globe. The former is similar to solar variations in that there is a change to the power input from the sun to the Earth system. The latter is due to how the orbital variations affect when and where sunlight is received by the Earth. The three types of orbital variations are variations in Earth's eccentricity, changes in the tilt angle of Earth's axis of rotation, and precession of Earth's axis. Combined together, these produce Milankovitch cycles which have a large impact on climate and are notable for their correlation to glacial and interglacial periods, their correlation with the advance and retreat of the Sahara, and for their appearance in the stratigraphic record.

Volcanism

Volcanism is a process of conveying material from the crust and mantle of the Earth to its surface. Volcanic eruptions, geysers, and hot springs, are examples of volcanic processes which release gases and/or particulates into the atmosphere.
Eruptions large enough to affect climate occur on average several times per century, and cause cooling (by partially blocking the transmission of solar radiation to the Earth's surface) for a period of a few years. The eruption of Mount Pinatubo in 1991, the second largest terrestrial eruption of the 20th century (after the 1912 eruption of Novarupta) affected the climate substantially. Global temperatures decreased by about 0.5 °C (0.9 °F). The eruption of Mount Tambora in 1815 caused the Year Without a Summer. Much larger eruptions, known as large igneous provinces, occur only a few times every hundred million years, but may cause global warming and mass extinctions.
Volcanoes are also part of the extended carbon cycle. Over very long (geological) time periods, they release carbon dioxide from the Earth's crust and mantle, counteracting the uptake by sedimentary rocks and other geological carbon dioxide sinks. According to the US Geological Survey, however, estimates are that human activities generate more than 130 times the amount of carbon dioxide emitted by volcanoes.

Ocean variability


A schematic of modern thermohaline circulation
The ocean is a fundamental part of the climate system. Short-term fluctuations (years to a few decades) such as the El Niño–Southern Oscillation, the Pacific decadal oscillation, the North Atlantic oscillation, and the Arctic oscillation, represent climate variability rather than climate change. On longer time scales, alterations to ocean processes such as thermohaline circulation play a key role in redistributing heat by carrying out a very slow and extremely deep movement of water, and the long-term redistribution of heat in the world's oceans.

Human influences

Main article: Global warming
Anthropogenic factors are human activities that change the environment. In some cases the chain of causality of human influence on the climate is direct and unambiguous (for example, the effects of irrigation on local humidity), whilst in other instances it is less clear. Various hypotheses for human-induced climate change have been argued for many years. Presently the scientific consensus on climate change is that human activity is very likely the cause for the rapid increase in global average temperatures over the past several decades. Consequently, the debate has largely shifted onto ways to reduce further human impact and to find ways to adapt to change that has already occurred.
Of most concern in these anthropogenic factors is the increase in CO2 levels due to emissions from fossil fuel combustion, followed by aerosols (particulate matter in the atmosphere) and cement manufacture. Other factors, including land use, ozone depletion, animal agriculture and deforestation, are also of concern in the roles they play - both separately and in conjunction with other factors - in affecting climate.

Physical evidence for climatic change

Evidence for climatic change is taken from a variety of sources that can be used to reconstruct past climates. Reasonably complete global records of surface temperature are available beginning from the mid-late 1800s. For earlier periods, most of the evidence is indirect—climatic changes are inferred from changes in indicators that reflect climate, such as vegetation, ice cores, dendrochronology, sea level change, and glacial geology.

Historical & Archaeological evidence

Climate change in the recent past may be detected by corresponding changes in settlement and agricultural patterns. Archaeological evidence, oral history and historical documents can offer insights into past changes in the climate. Climate change effects have been linked to the collapse of various civilisations.

Glaciers



Variations in CO2, temperature and dust from the Vostok ice core over the last 450,000 years
Glaciers are among the most sensitive indicators of climate change, advancing when climate cools (for example, during the period known as the Little Ice Age) and retreating when climate warms. Glaciers grow and shrink, both contributing to natural variability and amplifying externally forced changes. A world glacier inventory has been compiled since the 1970s. Initially based mainly on aerial photographs and maps, this compilation has resulted in a detailed inventory of more than 100,000 glaciers covering a total area of approximately 240,000 km2 and, in preliminary estimates, for the recording of the remaining ice cover estimated to be around 445,000 km2. The World Glacier Monitoring Service collects data annually on glacier retreat and glacier mass balance From this data, glaciers worldwide have been found to be shrinking significantly, with strong glacier retreats in the 1940s, stable or growing conditions during the 1920s and 1970s, and again retreating from the mid 1980s to present. Mass balance data indicate 17 consecutive years of negative glacier mass balance.

The most significant climate processes since the middle to late Pliocene (approximately 3 million years ago) are the glacial and interglacial cycles. The present interglacial period (the Holocene) has lasted about 11,700 years. Shaped by orbital variations, responses such as the rise and fall of continental ice sheets and significant sea-level changes helped create the climate. Other changes, including Heinrich events, Dansgaard–Oeschger events and the Younger Dryas, however, illustrate how glacial variations may also influence climate without the forcing effect of orbital changes.
Glaciers leave behind moraines that contain a wealth of material - including organic matter that may be accurately dated - recording the periods in which a glacier advanced and retreated. Similarly, by tephrochronological techniques, the lack of glacier cover can be identified by the presence of soil or volcanic tephra horizons whose date of deposit may also be precisely ascertained.

Vegetation

A change in the type, distribution and coverage of vegetation may occur given a change in the climate; this much is obvious. In any given scenario, a mild change in climate may result in increased precipitation and warmth, resulting in improved plant growth and the subsequent sequestration of airborne CO2. Larger, faster or more radical changes, however, may well result in vegetation stress, rapid plant loss and desertification in certain circumstances.

Ice cores

Analysis of ice in a core drilled from a ice sheet such as the Antarctic ice sheet, can be used to show a link between temperature and global sea level variations. The air trapped in bubbles in the ice can also reveal the CO2 variations of the atmosphere from the distant past, well before modern environmental influences. The study of these ice cores has been a significant indicator of the changes in CO2 over many millennia, and continue to provide valuable information about the differences between ancient and modern atmospheric conditions.

Dendrochronology

Dendochronology is the analysis of tree ring growth patterns to determine the age of a tree. From a climate change viewpoint, however, Dendochronology can also indicate the climatic conditions for a given number of years. Wide and thick rings indicate a fertile, well-watered growing period, whilst thin, narrow rings indicate a time of lower rainfall and less-than-ideal growing conditions.

Pollen analysis

Palynology is the study of contemporary and fossil palynomorphs, including pollen. Palynology is used to infer the geographical distribution of plant species, which vary under different climate conditions. Different groups of plants have pollen with distinctive shapes and surface textures, and since the outer surface of pollen is composed of a very resilient material, they resist decay. Changes in the type of pollen found in different sedimentation levels in lakes, bogs or river deltas indicate changes in plant communities; which are dependent on climate conditions.

Insects

Remains of beetles are common in freshwater and land sediments. Different species of beetles tend to be found under different climatic conditions. Given the extensive lineage of beetles whose genetic makeup has not altered significantly over the millennia, knowledge of the present climatic range of the different species, and the age of the sediments in which remains are found, past climatic conditions may be inferred.

Sea level change

Main article: Current sea level rise
Global sea level change for much of the last century has generally been estimated using tide gauge measurements collated over long periods of time to give a long-term average. More recently, altimeter measurements — in combination with accurately determined satellite orbits — have provided an improved measurement of global sea level change.

CHARACTER

CHARACTER

Fictitious creations and thus the dramatist and the novelist may both be judged with regard to their ability in the art of characterization.  As we have noted in the introduction , there is no narration or description in a drama. Instead, all characterization must be presented trough dialogue. Character speak about each other and character speak about themselves – particularly of course about their central emotions. Such as love and hate. The combination of speeches and actions throughout a play, the small aside and jokes. The short angry speeches, the lengthy diatribes. All add up to produce in our minds an understanding of the characters in a drama as people who might rally exist. 
Character in action
            We learn about the characters in a play by closely observing their actions. There are countless questions which can be asked about the character in action. By answering as many of them as possible we attempt to analyze the character does terms of their action.
Motivation
            The fact remains that the larger actions when characters complete in the course of a play have identified motives behind them and thus we as critics have every right and duty to analyze character motivation
Hope for reward a
            A major character desires to bring happiness and prosperity to himself or to those whom he loves all of his actions are planned to hasten the advent of prosperity.


Love
            Basically a particular extension of hope for reward. A character is motivated to certain action because of the love which he has. The love which he wants. Or the love which someone has for him.
Fear of failure
            An inversion of the hope for reward. A character works in a certain fashion because he fears that he will be crushed if he does not.
Religious felling
            Occasionally but not frequently, we discover a character who is motivated by religious faith.
Revenge
            Although there are certain plays which we speak of as “revenge tragedies” there are many plays in which we both major and minor characters motivated by desire to avenge the death of a loved friend or relative.
Greed
            This is a particular kind of motivation in the category of “hope for reward” which becomes outstanding motive in its own right in many plays.
Jealousy
            A final corollary kind of motive, in this case connecting to both love and fear of failure. Jealousy operates as one of the most particular and strongest motives in all drama.
The rounded personality
            While we can usually speak of a character’s central motive for doing what he does in the course of the play. We can rarely assume that he has one and only one motive.
Caricature
            In fiction we speak of a “caricature” when a character’s outstanding trait becomes so outstanding that it becomes unbelievable. in drama we generally refer to this kind of character as a type. In general we find types among minor characters but almost never among major. There is no reason for fully developing a character who has but a small role within a play, just as it would be disastrous and inartistic not to develop quite extensively a major character.

Barrack Obama

Barrack Obama

Mengukir sejarah Amerika
Barrack Obama mempunyai latar belakang yang menarik ayahnya kulit hitam, ibu kulit putih, satu-satunya Afro-Amerika di senat AS, calon presiden AS pertaman keturunan Afrika dari partai democrat. Sewaktu kecil pernah tinggal dan sekolah di Indonesia. Rasanya lebih mudah membayangkan Amerika memiliki seorang presiden kulit hitam setelah menyaksikan serial TV ‘24’ yang sempat menjadi hit di Amerika dan berbagai Negara.
Dalam serial TV yang menonjolkan upaya Amerika memerangi terorisme ini, jack Bauer, sang jagoan dari CTU (Counter Terorism Unit) harus berjibaku dengan waktu yang terbatas (24jam) untuk mengagalkan upaya teroris menyerang kota-kota di Amerika. Jack berulang kali harus melindungi presiden kulit hitam pertama yang memimpin Amerika, presiden David Palmer, dari berbagai upaya pembunuhan. Dalam serial 24, Palmer digambarkan sebagai presiden yang berkarakter tenang, tidak gegabah mengambil keputusan, selalu menghindar dari cara-cara tidak terhormat dan karismatis.
Penampilan Palmer di serial 24 cukup memukau sebab menonjolkan sosok presiden Amerika Serikat yang patriotic dan nasionalis. Penonton pun berdecak kagum dengan karakter yang di perankan Palmer. Actor yang memerankan Palmer, dennis Haysbert bahkan mengklaim bahwa ia telah jalan bagi Barrack Obama untuk menjadi orang nomor satu di AS. Ia mengatakan jutaan penggemar serial ini menjadi terbiasa dengan ide bahwa Amerika bisa memiliki seorang presiden berkulit hitam. Dan jika Obama bisa sampai ke gedung putih, sang actor menyatakan bahwa serial 24 layak mendapat kredit.
Ide bahwa Amerika bisa memiliki seorang presiden berkulit hitam kelihatannya sudah dapat diterima oleh sebagian warga Negara Amerika. Meski Obama termasuk orang baru dalam kancah politik Amerika Serikat, antusiasme masyarakat dan media Amerika atas Obama terbilang sangat besar.
Salah satu edisi tahun 2005, TIME memasukan nama Obama pada dftar 100 orang paling berpengaruh di dunia. New Statesman, sebuah media di inggris, mendaftar Obama sebagai salah satu dari “sepuluh orang yang mampu mengubah dunia” pada edisi 23 oktober 2006, TIME memasang wajah tersenyum Obama sebagai cover, dan memasang judul besar-besar, “kenapa Barrack Obama bisa jadi presiden selanjutnya” (Why Barack Obama Could Be The Next President), ditulis oleh salah satu jurnalis terkemuka, Joe Klein.
Sementara media-media local lainnya seperti Washington Post, pernah menerbitkan headline berjudul agak bombastic “The Legend Of Barrack Obama” Obama juga mendapat perhatian dari majalah budaya Rolling Stones dan The New Yorker. Pada edisi 2004, Rolling Stones memilih Obama sebagai salah satu People Of The Year.
Latar belakang kehidupan bapak Barack Obama benar-benar ‘ditelanjangi’ dan diekspos luas. Satu waktu mengulas tuntas kehidupan Obama dari kecil hingga sekarang, di waktu lain mengulas kehidupan dan pengaruh ibunda pada diri Obama, termasuk kehidupan Obama saat tinggal di Indonesia.
Membaca perjalanan hidup Obama lewat tulisan-tulisan di berbagai media tersebut edisi 10 maret 2008, sosok Obama digambarkan sebagai sosok yang sama dengan kita (like us), dalam kehidupan sehari-harinya. Ia pun menjadi Inspirasi bagi banyak orang, yang meras terpinggirkan dan tak berdaya. Sebab Obama menapaki kehidupan gentir di tinggal ayahnya (Barack Hussein Obama asal Kenya), yang punya tiga istri lain, selain ibu kandung Obama, Ann Dunham, perempuan kulit putih.
Meski demikian, hal hal yang baik dari kedua orang tuanya mengalir dalam darah Obama. Obama mewarisi kecerdasan seorang ekonomi bergelar Ph.D lulusan Universitas Harvard dari ayahnya, dan nilai-nilai empati dan pelayanan kepada orang lain seorang antropolog dari ibunya. Postur tubuh dan warna kulit Obama, bahkan rambutnya yang keriting, lebuh mirip ayahnya ketimbang ibunya.
Dreams from My Father
Obama, Jr lahir di Honolulu, Hawaii pada 4 agustus 1961, anak hasil perkawinan Barack Hussein Obama, Sr dan Ann Dunham. Obama, Sr adalah pria asal Alego, sebuah desa di provinsi Nyanza, Kenya, afrika. Sedangkan Ann lahir dan tumbuh dewasa di kota kecil Wichita, Kansas.
Otaknya yang cemerlang mengubah nasib Obama Sr, dari seorang penggembala kambing dan pelayan di rumah keluarga kebangsaan Inggris di Kenya, menjadi seorang mahasiswa berbeasiswa untuk kuliah di East-West Center di universitas Hawaii di Manoa. Disanalah Obama, Sr bertemu dengan Ann Dunham, teman seuniversitas yang kemudian dinikahinya. Sebelum menikah dengan Ann Dunham, Obama, Sr telah menikahi wanita Kenya. Dari istrinya di Kenya itu, Obama, Sr mendapatkan tujuh orang anak.
Obama, Jr memang lahir saat kedua orang tuanya masih berstatus mahasiswa. Saat obama berusia sekitar dua tahun, Obama Sr meninggalkan Ann Dunham dan Obama kecil, untuk meraih gelar Ph.D di bidang ekonomi di Harvard University. Mereka akhirnya bercerai. Ann Dunham lulus dan dia menjadi antropolog. Sedangkan Obama, Sr, setelah menyelesaikan pendidikannya, kembali ke Kenya, dan bekerja sebagai perencana ekonomi bagi pemerintah. Obama, Sr meninggal dunia dalam kecelakaan mobil pada 1982 – ketika itu Obama, Jr berusia 21 tahun.
Ann Dunham menikah lagi dengan mahasiswa asing lainnya dari Indonesia yang belajar di Universitas Hawaii, bernama Lolo Soetoro. Pernikahan  Ann–Lolo dengan Ann dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik bernama Maya Kassandra Soetoro – saat ini Maya (37 tahun) menjadi pengajar di Universitas Hawaii. Seusai studi, Lolo memboyaong Ann dan Obama kecil pindah ke Jakarta. Di kota inilah Obama Jr sempat mengenyam pendidikan dasar di Indonesia pada usia enam sampai 10 tahun.

Komentar:
Tidak dapat disangkal Barrack Obama adalah sosok yang sangat fenomenal. Dia adalah orang kulit hitam pertama yang menjadi presiden di Amerika dimana sisa-sisa dari politik apartheid masih terasa. Terpilihnya Barrrack Obama menjadi presiden menunjukan bahwa politik apartheid telah hilang sepenuhnya di negeri itu. Dan ini pun dapat menular ke seluruh dunia dimana masih ada saja Negara yang isu-isu apartheid masih dapat ditemukan sebagai contoh, di Negara spanyol adalah negara dimana pemain sepak bola berkulit hitam akan diteriaki seperti monyet jika membawa bola. Dengan terpilihnya Barrack Obama kemungkinan besar dapat mengubah pandangan seluruh orang mengenai kulit hitam dan memberikan tempat yang lebih baik bagi para kulit hitam.