Sunday, April 3, 2011

WARISAN SANG PENGEMIS BAGI WARGA MUNTI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1             Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan gejala sosial yang sangat kompleks dan multidimensi.Rantai kemiskinan terus bertambah sehingga membentuk suatu lingkaran kemiskinan yang tidak dapat diselesaikan dengan sempurna.Memang dalam realitas sosial tidak pernah dijumpai masyarakat yang dapat memenuhi  kebutuhan hidup dan memenuhi harapan-harapan masyarakat.
Di Bali Khususnya daerah Munti Kintamani masalah kemiskinan masih menjadi momok yang menakutkan.Kemiskinan memberikan dampak yang sangat besar dalam kehidupan bermasyarakat.Kemiskinan menimbulkan masalah-masalah seperti tingginya tingkat pengangguran, kriminalitas karena rendahnya pendidikan. Sehingga hal ini memicu banyaknya orang yang mengambil profesi sebagai Pengemis.
Sebenarnya masalah kemiskinan yang berakibat banyaknya pengemis dapat diselesaikan oleh individu-individu itu sendiri.Terkadang semua itu dikarenakan oleh mereka sendiri seperti adanya sifat malas, kurang inovasi atau tingkat ketergantungan yang tinngi, sikap yang selalu pasrah, rendah hati dan selalu merasa terasingkan. Jadi setiap individu mempunyai kontribusi yang besar dalam mengubah hidupnya sendiri. Tetapi selain faktor – faktor tersebut faktor lingkungan juga mempunyai peranan yang besar terhadap pola hidup masyarakat itu sendiri.
Munculnya banyak pengemis ini merupakan dampak dari pembangunan. Dampak positif dan negatif dari pembangunan itu sendiri tak dapat dihindari pada saat ini. Munculnya banyak pengemis yang ada di daerah Munti pada khususnya merupakan dampak negative dari pembangunan itu sendiri. Keberhasilan percepatan pembangunan di perkotaan dan keterlambatan pembangunan yang ada di desa menimbulkan arus migrasi desa-kota yang antara lain memunculkan para pengemis karena sulitnya lapangan pekerjaan di pedesaan maupun perkotaan.
Masalah umum gelandangan dan pengemis pada hakikatnya erat terkait dengan masalah ketertiban dan keaman yang mengganggu ketertiban dan keamanan di daerah perkotaan. Dengan berkembangnya pengemis di duga akan memberi peluang munculnya ganguan keamanan dan ketertiban, yang pada akirnya akan mengganggu stabilitas, sehingga pembangunan akan terganggu, serta cita-cita nasional tidak dapat di wujudkan.
Munculnya banyak pengemis ini merupakan salah satu dampak dari kesejahteraan sosial yang tidak merata, rendahnya pendidikan dan lingkungan yang tidak menyediakan lapangan kerja yang memadai (keterbelakangan lingkungan itu sendiri). Hal inilah yang membuat kami tertarik untuk meneliti bagaiman kehidupan para pengemis khususnya yang ada di daerah Munti, Kintamani Bali.



1.2             Rumusan Masalah


A.    Apakah yang menyebabkan banyaknya pengemis, khususnya di daerah Munti Kintamani Provinsi Bali?
B.     Apakah alasan mereka menjadi seorang pengemis?
C.     Bagaimanakah pola kehidupan sehari-hari para pengemis?
D.    Bagaimana tindakan pemerintah untuk mengurangi banyaknya pengemis?





BAB II
GAMBARAN UMUM

Siapa yang tidak tahu Desa Munti Gunung, Perbekelan Tianyar Barat, Kubu, Karangasem. Desa berbatasan dengan Songan, Kintamani di barat dan Tejakula di utara ini selain terkenal tandus, dikenal juga ada ratusan warganya suka menjadi gelandangan dan pengemis. Gepeng yang umumnya ibu rumah tangga mengajak anak-anaknya meminta-minta hampir di tiap persimpangan jalan di kota besar seperti Denpasar, Kuta, Klungkung dan Gianyar.
Di lingkungan sekitar kita sekarang ini khususnya di daerah Munti, Kintamani masih sangat banyak kita jumpai sampai sekarang orang-orang yang berprofesi sebagai Pengemis, yang sering disebut oleh masyarakat sekitar dengan sebutan “GEPENG” (gelandangan dan pengemis). Mereka adalah orang-orang yang pada umumnya memiliki kehidupan yang tidak cukup serta tidak memiliki pekerjaan. Hidup mereka juga tidak menentu setiap harinya. Khususnya dalam mendapatkan sandang dan pangan. Para gelandangan dan pengemis juga sangat rentan terlibat dalam tindakan-tindakan kriminal, hal ini dikarenakan pola pikir mereka yang pendek dan tidak didasari pendidikan yang memadai.
Dari data jumlah gepeng yang dikembalikan dari kabupaten/kota lain, tiap tahun cenderung meningkat. Gubernur Bali Dewa Made Beratha saat kunjungan kerja akhir tahun beberapa waktu lalu di depan ratusan warga Munti Gunung minta warga setempat yang masih suka menggepeng menghentikan kebiasaannya itu. Soalnya, meminta-minta merupakan pekerjaan hina dan karenanya bisa menjatuhkan harga diri.
Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (1992), Gelandangan merupakan orang-orang yang hidup dalam keadaan  tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan pengemis adalah orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di tempat umum dengan berbagai alas an untuk mendapatkan belas kasihan dari orang-orang.
Ali, dkk. (1990), menyatakan bahwa gelandangan berasal dari kata gelandang yang berarti selalu mengembara atau berkelana. Di samping itu mereka juga menyatakan bahwa gelandangan khususnya pengemis merupakan lapisan sosial, ekonomi dan budaya paling bawah dalam stratifikasi masyarakat kota. Dengan strata demikian maka gelandangan merupakan orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal atau rumah, tidak memiliki pekerjaan tetap, berkeliaran di dalam kota, minim-minum dan tidur di sembarang tempat. Hal inilah yang memicu para gelandangan memiliki profesi sebagai pemulung, pengemis dan pedagang kaki lima.
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita simpulkan bahwa kehidupan gelandangan dan pengemis dapat dibagi dalam tiga gambaran umum, yaitu yang pertama sekelompok orang miskin atau orang yang dimiskinkan oleh masyarakatnya. Yang kedua adalah orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, dan yang ketiga adalah orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan.












BAB III
METOLOGI

1.1  Metode Kajian Pustaka

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kajian pustaka. Metode ini merupakan metode  dengan proses pengumpulan data dengan mengambil data dari buku-buku yang ada, baik itu dari perpustakaan, internet, maupun media cetak.

1.2            Metode Wawancara

Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode wawancara. Metode ini merupakan metode  yang proses pengumpulan datanya di dapatkan melalui hasil wawancara secara langsung di tempat penelitian. Imformasi bersumber langsung dari responden yang di teliti selaku narasumber.










BAB IV
PEMBAHASAN

1.1  Penyebab Banyaknya Pengemis.
Begitu banyaknya pengemis yang ada di sekitar kita khususnya di daerah Munti Bali tentunya timbul karena adanya berbagai macam faktor, baik itu faktor internal (dari dalam) dan faktor eksternal(dari luar).
a.       Faktor Internal
Yaitu faktor yang berasal dari diri individu itu sendiri. Faktor ini meliputi :
v  Adanya sifat malas :
Artinya adanya sifat yang tidak mau berusaha dengan sungguh – sungguh. Sifat malas pasti pernah hinggap di setiap individu tetapi malas disini adalah malas yang berlangsung terus menerus sehingga tidak bisa berfikir secara produktif. Sifat malas ini menyebabkan sifat ketergantungan yang tinngi kepada orang lain. Ini juga diakui sendiri oleh beberapa pengemis yang telah kami wawancarai bahwasanya dasar utama mereka untuk menjadi pengemis adalah rasa malas, mereka juga berpikiran bahwa jalan pintas dianggap pantas bagi kehidupan mereka. Tanpa perlu dasar pendidikan yang tinggi dan tanpa mengeluarkan banyak pikiran mereka mendapatkan penghasilan yang cukup.
v  Adanya Cacat Fisik :
 Artinya adalah seseorang yang mempunyai cacat fisik cenderung merasa dirinya kurang, tidak percaya diri dan akhirnya akan merasa terasinggkan. Memang benar dalam kenyataannya seseorang yang mengalami cacat fisik sering mendapatkan diskriminasi dari orang-orang disekelilingnya. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya pelamar pekerjaan yang ditolak karena mereka cacat fisik. Memang hal ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena mereka (perusahaan) dalam menjalankan bisnisnya tidak hanya mengandalkan rohani tetapi juga jasmani. Selain itu juga mereka ( penderita cacat ) secara tidak langsung mendapatkan diskriminasi dari pada akses-akses umum seperti tidak adanya fasilitas seperti tangga jalan khusus bagi penderita lumpuh di tempat pembelanjaan tetapi sekarang sudah ada beberapa tempat perbelanjaan yang menyediakan akses tersebut.
v  Sifat Ketergantungan yang Tinggi :
Sifat ketergantungan yang tinggi bisa disebabkan adanya ketidaksiapan dalam menghadapi suatu problema hidup karena sejak kecil tidak belajar kemandirian. Disini peran keluarga sangat mempengaruhi khusnya kedua orang tua. Jika sejak kecil anak tersebut tidak diajarkan sifat mandiri, selalu dimanja yang berlebihan maka ketika besar kelak, ketika ia terjun di masyarakat ia belum siap menghadapi permasalahan yang ada.
b.      Faktor Eksternal
Yaitu factor-faktor yang berasal dari luar individu sendiri. Faktor eksternal itu seperti :
v  Sempitnya Lapangan Pekerjaan :
Dari tahun – ketahun laju pertumbuhan penduduk indonesia semakin meninggkat. Meningkatnya jumlah penduduk tidak diimbangi dengan bertambanya lapangan pekerjaan. Jadi dengan adanya keterbatasan lapangan pekerjaan ini menyebabkan banyak pengemis di daerah kita.
v  Kesenjangan Sosial :
Kesenjangan yang terjadi antara “si miskin dengan “si kaya” seolah – olah ada tembok besar yang menghalangi mereka. Jadi “si miskin” merasa minder dan merasa dikucilkan. Padahal kesenjangan sosial akan berdampak adanya tindakan kriminalitas. “si miskin” bisa saja melakukan tindakan yang melanggar hukum seperti pencurian karena mereka merasa tidak memiliki satu sama lain,meskipun berdekatan mereka merasa tidak menjadi bagian dari hidup mereka. “Si kaya cenderung menganggap sebelah mata dan tidak diajak ikut andil dalam mengambil suatu keputusan. Kesenjangan sosial dapat disebabkan oleh industrialisasi yang berdampak mengubah pola organisasi masyarakat. Hal inilah salah satu penyebab pemicu munculnya pengemis di sekitar kita.
v  Kebijakan-Kebijakan Pemerintah :
Kebijakan pemerintah seperti naiknya bahan bakar minyak ( BBM ), barang – barang pokok  dan lain sebagainya menambah penderitaan mereka. Meraka yang miskin tambah miskin. Selain itu mereka para produsen dengan adanya kenaikan tarif pajak mereka banyak yang gulung tikar karena dengan adanya kenaikkan tarif pajak maka secara otomatis barang produksi harganya akan naik sehinnga konsumen enggan membeli barang tersebut. Apalagi tingginya pajak ekspor menyebabkan para produsen enggan untuk mengeksport barang – barang mereka akibatnya mereka tidak bisa berkembang. Apalagi yang terjadi akhir – akhir ini banyak produk luar negeri yang masuk ke Indonesia seperti china dengan skala besar mengeksport barang – barang mereka yang harganya jauh lebih murah,karena adanya kenaikkan bahan baku produksi maka produsen lokal tidak dapat bersaing yang akhirnya akan gulung tikar.
v  Culture atau Budaya :
Kebudayaan / culture dapat mempengaruhi sikap seseorang. Apalagi adat istiadat yang sudah berlangsung turun temurun. Seperti ada anggapan bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan yang tinngi, tidak boleh jauh dari orang tua dan lain sebagainya. Kondisi seperti ini akan menyebabkan minimnya ilmu pengetahuan dan akhirnya tidak produktif. Seperti kata pepatah jawa makan ga makan yang penting ngumpul pepatah seperti itu dapat mengandung makna bahwa meskipun tidak ada uang untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka tetap bersama – sama,tidak seorangpun yang keluar daera / merantau untuk berusaha mencukupi kebutuhan hidup.



1.2  Alasan Para Pengemis Khususnya di Daerah Munti Gunung Menjadi Seorang Pengemis.
Banyak alasan para penduduk khususnya daerah Munti menjalani profesi sebagai seorang pengemis. Menurut beberapa orang yang telah kami wawancarai dapat kami simpulkan bahwa alas an-alasan mereka menjadi seorang pengemis adalah sebagai berikut :
a.       Karena tuntutan kehidupan yang mengharuskan mereka menyambung kehidupan mereka sendiri dan keluarga mereka, sementara mereka tidak memiliki pendidikan yang memadai dan daerah mereka tidak menyediakan pekerjaan.Selain itu sangat minimnya tempat pendidikan, seperti sekolah, di daerah ini hanya ada satu sekolah dasar, yang tentu tidak dapat menjamin cukupnya ilmu pengetahuan mereka. Seperti kita ketahui saja pada saat sekarang ini orang yang bergelar serjana pun saja belum tentu bisa mendapatkan pekerjaan. Begitu pula dengan mereka, yang hanya lulusan SD.
b.      Di samping itu juga mereka bisa medapatkan uang secara instan atau mudah tanpa harus bekerja terlalu keras atau memiliki keterampilan khusus, juga dengan modal yang sangat minim. Karena dalam hidup ini mereka tidak memiliki aset ekonomi khususnya warisan yang ditinggalkan oleh keluarga mereka terdahulu. Hanya dengan menunjukkan raut wajah yang penuh dengan kesedihan mereka mampu mendapatkan simpati dari banyak orang sehingga orang-orang akan memberikan mereka uang untuk mengganjal perut.
c.       Adanya rasa malas dan iri melihat beberapa pengemis yang mereka kenal mendapat penghasilan lebih dari mereka yang bekerja. Secara tidak mereka sadari penghasilan para pengemis ini per harinya lebih dari cukup untuk sekedar makan, minum dan menyewa penginapan.
d.      Informasi yang mereka dapatkan bahwa tidak jarang penghasilan seorang pengemis perbulannya lebih besar dari pegawai negeri. Lebih dari 100.000,- (seratus ribu rupiah) per harinya, jika satu bulan mereka akan mendapatkan penghasilan kurang lebih 3.000.000,- (tiga juta rupiah). Hal ini yang membuat mereka tergiur dan melakoni terus profesi tersebut.
e.       Karena mereka tergabung dalam sebuah organisasi yang dipimpin oleh seorang ketua yang bila mana hasil pendapatan mereka dibagi setelah akhir bulan sama halnya dengan orang yang memiliki pekerjaan yang layak. Sistem pekerjaan ini terorganisir secara teratur, salah seorang dari mereka menjadi Ketua. Biasanya orang yang menjadi ketua adalah orang yang paling kaya dan mau memberi mereka upah dengan syarat mereka menjalankan pekerjaan itu dan menyerahkan hasil mereka sesuai target yang ditentukan oleh ketua setiap bulannya. Jika mereka tidak mengikuti system ini atau bekerja tanpa ada naungan organisasi terkadang akan membuat mereka tersisihkan. Hal ini yang mengharuskan mereka berjuang sendirian.
f.       Mereka tidak membutuhkan atau menyewa tempat tinggal atau lapak untuk mendapatkan hasil. Tidak seperti pedagang yang setiap bulannya mengeluarkan uang untuk tempat usaha. Mereka telah membagi daerah tempat mengemis mereka masing-masing, mereka juga tidak perlu membayar tempat, jika orang lain memasuki daerah mereka maka mereka akan melakukan sebuah tindakan untuk mempertahankan daerah pencarian mereka.
g.      Bagi anak-anak jalanan mereka kadang mendapat ancaman atau paksaan dari preman-preman untuk mengemis. Yang selanjutnya hasil mengemis mereka harus diserahkan pada preman tersebut, dan mereka hanya diberi makan.
h.      Ada keuntungan tersendiri bagi mereka yang telah melakoni profesi ini khususnya bagi yang tertangkap oleh petugas POL PP, karena mereka yang tertangkap akan diberikan modal untuk membuka usaha yang baru sebagai mata pencaharian mereka agar mereka tidak menjadi pengemis lagi, sehingga taraf kehidupan mereka akan lebih baik, (tapi tidak semua yang tertangkap diberikan modal oleh para petugas pemerintah).






1.3  Pola Kehidupan Sehari-hari Para Pengemis di Daerah Munti
Banyak warga kintamani tidak mempercayai bahwa di desa tersebut banyak terdapat para pengemis, yang membuat mereka tidak mempercayai hal tersebut adalah kehidupan warga munti yang mapan, namun di balik kepercayaan masyarakat tersebut tersimpan bahwa masyarakat Munti adalah kebanyakan menjadi pengemis di kota-kota besar yang ada di Bali.
Kebanyakan dari mereka telah bekerja sebagai pegawai toko, pegawai negeri sipil, pedagang, dan pejual kerajinan. Namun saat –saat tertentu mereka pergi ke kota besar seperti Denpasar untuk mengemis. Mereka melakukannya karena ini adalah cara termudah untuk mendapat penghasilan tambahan, bahkan di daerah mereka seseorang yang tidak mengemis akan di kucilkan oleh warga desa mereka. Karena mengemis bagi mereka adalah suatu keharusan.
Pola kehidupan mereka sehari-hari tidak menuntu, kadang sepulang dari mengemis mereka melakukan cocok tanam di ladang. Di samping itu mereka juga tetap berkumpu dengan anggota mereka sambil mengatur rencana ke depannya. Bagi para ibu-ibu setelah mereka selsai melakukan pekerjaanya sebagai pengimis, sesampai di rumah mereka menjadi ibu rumah tangga seperti biasanya lagi, dan tinggal menerima upah dari bos hasil mengemis.
Anehnya mereka tidak mau mengemis di daerah mereka, dan yang lebih aneh lagi mereka tidak mau mengakui kalau mereka pergi mengimis kalau di tanyai oleh warga desa lain, mereka mengakui kalau diri mereka kerja di kota. Kebanyakan yang pergi megemis ke kota adalah ibu dan anak-anak, sedangkan bapak-bapak hanya bisa tinggal di rumah sambil menjaga rumah dan anak-anaknya, kadang kala mereka menyewakan anaknya ke pengemis yang lain dengan harga yang cukup tinggi demi memperoleh keuntungan tampa memikirkan resiko yang di tanggung.
Sifat mereka aneh sekali, para kepala keluarga tidak mau melarang, tapi malah menganjurkan anak dan istri mereka untuk pergi mengemis, kepala keluarga di desa tersebut tidak lagi memikirkan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya. Sehingga banyak anak-anak di desa tersebut yang buta huruf dan ke terblakangan teknologi. Meskipun demikian orang-orang di sana tidak terlalu memikirkan hal tersebut, seolah-olah yang di pikirkan hanya uang, tidak memikirkan pendidikan dan hal yang lain, tidak seperti masyarakat lainnya.
1.4  Tindakan Pemerintah Untuk Mengurangi Pengemis
Tindakan dalam menangani masalah ini memang sangat sulit untuk dilakukan. Pemerintah sampai sekarang belum mampu sepenuhnya menangani masalah ini, meskipun pemerintah telah melakukan berbagai macam upaya untuk menenganinya. Jangankan untuk menghapus pengemis dalam Negara ini, menguranginya pun pemerintah belum mampu melakukannya secara maksimal. Adapun beberapa upaya pemerintah dalam menangani dan mengurangi pengemis itu antara lain :
a.       Dimuatnya sebuah pasal dalam Undang-Undang 45 yang menyatakan bahwa anak-anak terlantar dan fakir miskin serta gelandangan dipelihara oleh Negara. Namun hal ini belum mampu ditanggulangi sepenuhnya oleh pemerintah, pemerintah belum mampu memelihara dan memberi biaya sepenuhnya kepada mereka.(menanggulangi)
b.      Mengadakan razia pengemis secara berkala untuk mengurangi jumlah pengemis. Namun jalan ini belum mampu juga mengurangi jumlah pengemis yang ada. Tak dapat di pungkiri juga, karena para pengemis tersebut berpindah-pindah, hal ini yang membuat para petugas kesulitan untuk menangkap para pengemis. Jadi pemerintah sudah melakukan tugas dengan sepenuh mungkin.
c.       Di bentuknya berbagai macam panti sosial demi memberikan kesempatan kerja lebih baik bagi pengemis yang terjaring dalam razia. Namun para pengemis tetap kesulitan memperoleh pekerjaan yang layak. Di samping itu pekerjaan yang di sediakan pemerintah tidak cocok dengan mereka. Hal ini karena keterbatasan pendidikan mereka.
d.      Membuka kesempatan kerja bagi para pengemis dengan meningkatkan perkembangang Usaha Kecil Menengah. Namun hanya orang-orang yang memiliki keahlian yang bisa diterima kerja. Tentu hal ini yang membuat orang yang tidak mempunyai skill tersebut kesulitan, sehingga mereka tidak punya pilihan lain selain menjadi seorang pengemis.

e.       Meningkatkan pendidikan di daerah – daerah tertinggal guna meningkatkan kesempatan kerja yang bisa di peroleh. Meskipun sarana tersebut tidak tertunjang oleh adanya fasilitas yang cukup memadai, seperti hal nya tenaga guru. Satu hal yang paling penting adalah infrastruktur yang sangat minim.
f.       Membuka dan meningkatkan perekonomian daerah – daerah tertinggal sehingga mereka tidak perlu pergi ke kota dan akhirnya menjadi pengemis untuk bertahan hidup. Dan meningkatkan pembangunan daerah – daerah tertinggal sehingga roda perekonomian dapat berkembang.
g.      Dikeluarkannya fatwa ( larangan ) MUI (Majelis Ulama Indonesia) bahwa mengemis itu hukumnya haram, dari segi agama, demikian hal ini tidak di perdulikan, karena pengemis yang ada di bali adalah  bermayoritas beragama Hindu.












BAB V
KESIMPULAN

Pada hakikatnya pengemis berkembang dalam masyarakat kita ini secara alamiah, secara turun temurun dan tidak memperdulikan latar belakang seseorang itu sendiri, karena hal ini dipicu oleh tingkat pendidikan mereka yang rendah dan faktor-faktor baik internal maupun faktor eksternal. Sekeras apapun pemerintah berusaha mencegahnya masih belum membuahkan hasil, hal ini karena kurangnya kesadaran mereka akan tidak etisnya pekerjaan mereka sebagai pengemis. Padahal keadaan keluarga mereka yang jadi pengemis khususnya yang berasal dari Munti memiliki keluarga yang mapan, namun mengemis telah menjadi kebiasaan yang tidak dapat dipisahkan dari mereka. Hal inilah yang menjadi tugas pemerintah dalam menanggulangi agar para penduduk tidak memiliki pola pikir bahwa mengemis itu sangat menguntungkan dan pantas untuk mereka kerjakan. 










BAB VI

BIODATA RESPONDEN
   Hasil wawancara yang kami dapatkan langsung dari pelakunya
Nama responden : I. Nyoman Sungsih
Alamat                 : Desa Munti
Umur                    : 23

HASIL WAWANCARA


Penulis : sudah berapa lama jadi pengemis bu?
Responden : saya sudah mengemis dari kecil, dulu di gendong-gendong sama ibu saya.
Penulis  : trus ngapaen ibu sekarang sediri ngemis nya, gak sama anak ?
Responden : ibu saya sudah meninggal, karena kaget, trus jatuh sakit waktu di tangkap sama SAT POL PP.
Penulis : di tangkap di mana?
Responden : di Gianyar
Penulis : jadinya ibu yang ngelanjutin kerjaan ibu yang sudah meninggal?
Responden : iya
Penulis : berapa penghasilan ibu per hari nya?
Responden :  kalau lagi rame, saya bisa mendapat 100 ribu sampai sampai 140 ribu, tapi kalau lagi sepi ea ciman dapat 50 ribu.
Penulis : trus ibu gak takut kalau kena rahazia?
Responden : kan bisa lari
Penulis : apa ibu gak di kejar?
Responden : di kejar si, tapi senbunyi, capek ibu dikejar gus
Penulis : trus uang yang ibu dapat di bawa ke mana?
Responden : saya punya bos, kalau di tangkap, kadang-kadang dia yang nebus
Penulis : ibu nyetor sama bos tiap hari atau per bulan?
Responden : oh,,, saya nyetornya sebulan sekali!!!!!!!!!!!!!!
Penulis : berapa bu?
Responden : cuma 400 ribu
Penulis : ibu sendirian yang punya bos?
Responden : tidak gus, saya berbanyak
Responden : makanya bos saya itu kaya
Penulis : apa ibu gak di larang sama keluarga?
Responden : tidak gus, kan keluarga saya pengemis semua
Penulis : ooohhhhhhhhhhh gitu ea bu???!!!!
Penulis : apa ibu gak pengen berhenti jadi pengemis? Atau cari pekerjaan yang lebih?
Responden : tidak gus, pekerjaan jadi pengemis enak, banyak keuntungannya, hehehehe
Penulis : sukseme bu

GLOBALISASI DAN KRISIS BUDAYA


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
                Perkembangan kehidupan kenegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat besar . Hal ini terutama berkaitan dengfan kegiatan reformasi. Banyak  hal terjadi sehubungan dengan globalisasi, dan tingkat pergaukan remaja masa kini. Semakin tumbuh globalisasi maka akibatnya Negara kita mengalami krisis kebudayaan.

                Oleh karena itu berbagai hal pelu di tempuh, sehubungan dengan globalisasi yang tumbuh di Indonesia. Hal-hal yang perlu di waspadai dalam era globalisasi adalah tingkat perkembangan kebudayaan yang tidak  menentu jalur dan lintasnya, contoh kecilnya saja pergaulan anak remaja jaman sekarang banyak mengadopsi pergaulan Negara barat. Tentu saja hal ini dapat mengarah ke hal yang negatif pada kebudayaan Negara kita.

                   Berdasarkan hal-hal tersebut perlu kiranya masyarakat pada umumnya dan pada para mahasiswa khususnya memiliki kesadaran dan pemahaman yang pasti tentang era globalisasi yang mengarah pada apa.



Metode Pengumpulan Data   
Metode yang di gunakan dalam pengambilan data dalam makalah ini adalah:
-                      Metode literatur, yang mana metode ini merupakan pembahasannya di dapatkan melalui beberapa media yaitu buku.
-                      Metode pengambilan data dari beberapa  analisa lapangan.
-                      Metode pengambilan data dari beberapa situs di internet.
             
                Dengan metode-metode tersebut, maka di dapatkan banyak informasi seputar makalah ini.

Tujuan
                 Tujuan dalam pembutan makalah ini adalah, supaya mengetahui dampak globalisa terhadap remaja dan budaya. Selain itu penyebab, dean cara mengatasi atau mencegah pengaruh globalisasi terhadap budaya dan remaja.

Rumusan Masalah
                      Adapun rumusan masalah yang kami dapatkan sehubungan dengan tema makalah ini antara lain:
-                      Berbagai dampak yang di timbulkan oleh era globalisasi.
-                      Merosotnya moral remaja.
-                      Terkikisnya kebudaya-kebudayaan asli, yang tergantikan oleh kebudayaan luar.
-                      Meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
BAB 2
PEMBAHASAN

Globalisasi
Globalisasi merupakan suatu proses yang mencakup keseluruhan dalam berbagai bidang kehidupan sehingga tidak tampak lagi adanya batas-batas yang mengikat secara nyata, sehingga sulit untuk disaring atau dikontrol.
Adapun konsep globalisasi menurut pendapat para ahli adalah :
Malcom Waters
Globalisasi adalah sebuah proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan sosial budaya menjadi kurang penting, yang terjelma didalam kesadaran orang.
Emanuel Ritcher
Globalisasi adalah jaringan kerja global secara bersamaan menyatukan masyarakat yang sebelumnya terpencar-pencar dan terisolasi kedalam saling ketergantungan dan persatuan dunia.
Thomas L. Friedman
Globlisasi memiliki dimensi ideologi dan teknlogi. Dimensi teknologi yaitu
kapitalisme dan pasar bebas, sedangkan dimensi teknologi adalah teknologi informasi yang telah menyatukan dunia.
Princenton N. Lyman
Globalisasi adalah pertumbuhan yang sangat cepat atas saling ketergantungan dan hubungan antara Negara-negara didunia dalam hal perdagangan dan keuangan.
Leonor Briones
Demokrasi bukan hanya dalam bidang perniagaan dan ekonomi namun juga mencakup globalisasi institusi-institusi demokratis, pembangunan sosial, hak asasi manusia, dan pergerakan wanita
Proses Globalisasi
Perkembangan yang paling menonjol dalam era globalisasi adalah globalisasi informasi, demikian juga dalam bidang sosial seperti gaya hidup.
Serta hal ini dapat dipicu dari adanya penunjang arus informasi global melalui siaran televise baik langsung maupun tidak langsung, dapat menimbulkan rasa simpati masyarakat namun bisa juga menimbulkan kesenjangan sosial.
Terjadinya perubahan nilai-nilai sosial pada masyarakat, sehingga memunculkan kelompok spesialis diluar negeri dari pada dinegaranya sendiri, seperti meniru gaya punk, cara bergaul.

Dampak Globalisasi
Globalisasi telah menimbulkan dampak yang begitu besar dalam dimensi kehidupan manusia, karena globalisasi merupakan proses internasionalisasi seluruh tatanan masyarakan modern.
Sehingga terjadi dampak yang beragam terutama pada aspek sosial dampak positif nya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi mempermudah manusia dalam berinteraksi dengan manusia lainnya.
Sedangkan dampak negatifnya, banyaknya nilai dan budaya masyarakat yang mengalami perubahan dengan cara meniru atau menerapkannya secara selektif, salah satu contoh dengan hadirnya modernisasi disegala bidang kehidupan, terjadi perubahan ciri kehidupan masyarakat desa yang tadinya syarat dengan nilai-nilai gotong royong menjadi individual. Selain itu juga timbulnya sifat ingin serba mudah dan gampang (instant) pada diri seseorang. Pada sebagian masyarakat, juga sudah banyak yang mengikuti nilai-nilai budaya luar yang dapat terjadi dehumanisasi yaitu derajat manusia nantinya tidak dihargai karena lebih banyak menggunakan mesin-mesin berteknologi tinggi.

Merosotnya Moral Remaja

Sebagai tulang punggung bangsa, penerus tongkat estafet, remaja punya peranan yang sangat penting dalam mengisi pembangunan. Dalam negara manapun remaja adalah penerus pembangunan.
dekimian halnya juga di indonesia, tidak terlepas dari hal ini.  merosotnya moral generasi muda dalam hal ini remaja, merupakan pertanda akan akan merosotnya moral anak bangsa.
dewasa ini sangat tidak bisa dipungkiri, ketidak mampuan remaja dalam filterisasi budaya yang datang dari luar merupakan penyebab merosotnya moral para penerus tonggak bangsa ini. belum lagi lingkungan dimana mereka tinggal yang terkadang tidak mendukung pembentukan moral mereka. Para anak remaja dewasa ini lebih mencintai budaya yang didatangkan dari luar.
Media massa merupakan salah satu faktor penting yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan kepribadian anak-anak remaja. Pemutaran  film-film yang kurang mendidik moral generasi sangat di sayangkan. Dapat kita saksikan setiap hari di layar tv adegan-adegan yang sama sekali merusak moral anak-anak remaja bangsa ini. Apalagi anak-anak yang masih belia sudah akting pacaran dalam film. Sadar atau tidak semua itu sangat berpengaruh bagi generasi bangsa ini. sehingga tidak jarang setiap hari kita mendengar terjadi kasus asusila di kalangan anak remaja, tragisnya lagi terjadi pada anak usia SD. sering kita dengar bahwa si A yang nota bene adalah anak usia SD dan SMP melakukan kasus asusila terhadap temannya yang sama adalah SD maupun SMP juga, ketika di tanya sering mereka jawab bahwa mereka meniru adegan ciuman yang di tayangkan pada film-film. bahkan lebih rusaknya lagi, anak-anak remaja dewasa ini tidak jarang kita saksikan mereka berjalan dan berciuman dengan lawan jenisnya yang sama sekali bukan saudaranya, itu terjadi didepan umum, mereka menganggap seolah-olah itu hal yang biasa, demikian juga dengan orang-orang yang menyaksikan hal itu, seakan mereka menutup mata dengan hal itu.
Semestinya, dalam menampilkannya, baik di film-film maupun di media massa seharusnya lebih memperlihatkan budaya yang baik untuk ditiru oleh generasi bangsa ini, harus banyak mengandung pesan moral yang bermanfaat, bukan sebaliknya membuat kepribadian generasi bangsa ini keluar dari etika dan norma. juka hal ini akan terus di biarkan, maka bukan suatu keniscayaan akan hancurnya bangsa ini.
Yang lebih parah lagi adalah terjadi di kalangan mahasiswa di perguruan tinggi yang merupakan agen of change. Dapat kita lihat hampir 75 %  mahasiswa baik diperguruan tinggi negeri maupun swasta, menggunakan busana yang tidak patut untuk dipakai dalam menuntut ilmu. Para pengajar juga seakan-akan melihatnya sebagai hal yang suatu hal yang baik, pada hal secara yuridis sangat bertentangan dengan aturan akademik.
Penggunaan busana yang terkadang memperlihatkan sebagian dari anggota tubuh mahasiswa maupun pelajar, busana yang kecil ukurannya.
Mendewakan akal,  juga merupakan suatu faktor yang berpengaruh terhadap kepribadian anak remaja. Kebebasan berpikir yang tanpa di landasi dengan norma dan etika agama yang memadai ini, banyak membuat kalangan anak remaja menjadi kurang beretika. Hal ini dapat kita lihat keberanian mereka dalam membantah perkatan serta nasihat mereka orang tua.
Keluarga juga terkadang membuat anak remaja menjadi kurang beretikan. pendidikan dalam keluargalah yang  merupakan faktor penting dalam pembentukan kepribadian anak remaja. karena banyak waktu yang tersedia dalam keluarga.
Terkikisnya budaya
Kebudayaan Barat di Indonesia
Positif :
-    Terlihat di unsur kebudayaan kebendaan, unsur – unsur yang terbukti membawa manfaat besar, unsur – unsur yang dengan mudah disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang menerima unsur – unsur tersebut.
-    Kita dapat berinteraksi dan mengetahui budaya Negara lain dan mengetahui perkembangan Era globalisasi dengan cepat.
Negatif :
-    Nilai-nilai budaya Indonesia saat ini mulai terkikis oleh masuknya budaya barat. Pemerintah, masyarakat, dan pelaku budaya perlahan meninggalkan budaya tradisional dengan alasan mengikuti arus globalisasi. Akibatnya, bangsa Indonesia kehilangan ciri atau citra bangsa di mata dunia.
-    Budaya memiliki banyak arti yang berkaitan dengan suatu bangsa. Budaya bisa berarti akal budi atau pikiran. Akal budi bangsa Indonesia mulai luntur seiring dengan terkikisnya nilai budaya. Sebagai contoh, Jakarta berubah menjadi kota yang tidak memiliki budaya tradisional. Hal tersebut jelas terlihat dari penggunaan bahasa Indonesia. Warga yang tinggal di kota besar tidak lagi menggunakan bahasa yang baik dan benar.
-    Bahasa Indonesia posisinya mulai digantikan dengan bahasa Inggris atau bahasa gaul. Bahkan, dalam sebuah persyaratan melamar pekerjaan bahasa Inggris menjadi bahasa yang wajib dimengerti oleh semua pelamar.
-    Fakta tersebut menunjukkan bahasa Indonesia tidak penting lagi. Bahasa, kesenian, dan budaya Indonesia mulai diabaikan.
-    Nilai budaya yang makin terkikis berdampak pada generasi muda. Sejarah berdirinya Indonesia dikhawatirkan akan menjadi cerita usang yang tidak menarik di kalangan generasi muda.

Situasi Budaya di Indonesia
        Kurang kuatnya kemampuan mengeluarkan energi pada manusia Indonesia. Hal ini mengakibatkan kurang adanya daya tindak atau kemampuan berbuat. Rencana konsep yang baik, hasil dari otak cerdas, tinggal dan rencana dan konsep belaka karena kurang mampu untuk merealisasikannya. Akibat lainnya adalah pada disiplin dan pengendalikan diri. Lemahnya disiplin bukan karena kurang kesadaran terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku, melainkan karena kurang mampu untuk membawakan diri masing-masing menetapi peraturan dan ketentuan yang berlaku. Kurangnya kemampuan mengeluarkan energi juga berakibat pada besarnya ketergantungan pada orang lain. Kemandirian sukar ditemukan dan mempunyai dampak dalam segala aspek kehidupan termasuk kepemimpinan dan tanggung jawab.
        Kelemahan ini merupakan Kelemahan Kebudayaan. Artinya, perbaikan dari keadaan lemah itu hanya dapat dicapai melalui pendekatan budaya. Pemecahannya harus melalui pendidikan dalam arti luas dan Nation and Character Building.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat di ambil dari makalah ini antara lain yaitu manfaat dari globalisasi tehadap kehidupan kita sehari-hari. Globalisasi, remaja, dan kebudayaan memiliki hubungan yang sanga kompleks,dalam arti luas adalah semakin era globalisasi tumbuh  kembang dalam kehidupan bernegara maka sacara otomatis kehidupan remaja dan kebudayaan di masing-masing negara akan mengalami perubahan yang sangat drastis, tapi namun dengan mengikuti kaeda-kaedah pancasila sebagai filsafat Negara maka kehidupan di Negara kita tidak akan menjerumuskan remaja dan terjadinya krisis budaya.
Proses terjadinya globalisasi dalam aspek sosial terjadi dengan cara melalui media televisi baik secara langsung maupun tidak langsung, serta melalui interaksi yang terjadi dimasyarakat.




Saran  
            Setiap Negara di belahan dunia ini mengikuti perkembangan era globalisasi. Karena globalisasi tersebut terlahir dari buah pikiran manusia. Oleh sebab itu mengikuti globalisasi tersebut harus secara serentak, namun jangan sampai mengikuti segi yang yang dapat merusak moral, dan menyebabkan Negara kita kehilngan kebudayaan, karena identitas Negara atau seseorang adalah budaya.
Siapapun boleh mengikuti arus globalisasi saat ini akan tetapi harus pandai-pandai menyaring yang sesuai dengan identitas nasional.
Mengingat globalisasi sangat kental dengan perubahan kita harus mempertimbangkan terlebih dahulu dampak yang akan ditimbulkan oleh globalisasi tersebut.

WORD CLASSES

CHAPTER 1
ANTECEDENT

Background
As an English department student, its necessary for us to know in details about grammar, especially word classes. In this paper, I will completely discuss about word classes and its contents

Target
The purpose of this paper is for us to know and to recognize the structure of word classes in a better way, so that I hope this paper could benefits us all.

Writing method
In this paper, I use an observation and internet-based searching method
Method that is used in this paper are :
- Internet-based searching method
In this method, I use internet facility to search for all information  I need, including for this paper. I searched at google.com, and Wikipedia.com.



CHAPTER 2
SOLUTIONS



Words are fundamental units in every sentence, so we will begin by looking at these. Consider the words in the following sentence:  
 
my brother drives a big car
We can tell almost instinctively that brother and car are the same type of word, and also that brother and drives are different types of words. By this we mean that brother and car belong to the same word class. Similarly, when we recognise that brother and drives are different types, we mean that they belong to different word classes. We recognise seven MAJOR word classes: 
 
 
Verb
be, drive, grow, sing, think
Noun
brother, car, David, house, London
Determiner
a, an, my, some, the
Adjective
big, foolish, happy, talented, tidy
Adverb
happily, recently, soon, then, there
Preposition
at, in, of, over, with
Conjunction
and, because, but, if, or
 
You may find that other grammars recognize different word classes from the ones listed here. They may also define the boundaries between the classes in different ways. In some grammars, for instance, pronouns are treated as a separate word class, whereas we treat them as a subclass of nouns. A difference like this should not cause confusion. Instead, it highlights an important principle in grammar, known as GRADIENCE. This refers to the fact that the boundaries between the word classes are not absolutely fixed. Many word classes share characteristics with others, and there is considerable overlap between some of the classes. In other words, the boundaries are "fuzzy", so different grammars draw them in different places. 
We will discuss each of the major word classes in turn. Then we will look briefly at some MINOR word classes. But first, let us consider how we distinguish between word classes in general.  
  
  

Criteria for Word Classes
We began by grouping words more or less on the basis of our instincts about English. We somehow "feel" that brother and car belong to the same class, and that brother and drives belong to different classes. However, in order to conduct an informed study of grammar, we need a much more reliable and more systematic method than this for distinguishing between word classes. 
We use a combination of three criteria for determining the word class of a word:  
 
1. The meaning of the word 
2. The form or `shape' of the word 
3. The position or `environment' of the word in a sentence
  



1. Meaning
Using this criterion, we generalize about the kind of meanings that words convey. For example, we could group together the words brother and car, as well as David, house, and London, on the basis that they all refer to people, places, or things. In fact, this has traditionally been a popular approach to determining members of the class of nouns. It has also been applied to verbs, by saying that they denote some kind of "action", like cook, drive, eat, run, shout, walk
This approach has certain merits, since it allows us to determine word classes by replacing words in a sentence with words of "similar" meaning. For instance, in the sentence My son cooks dinner every Sunday, we can replace the verb cooks with other "action" words: 
 
My son cooks dinner every Sunday 
My son prepares dinner every Sunday 
My son eats dinner every Sunday 
My son misses dinner every Sunday
On the basis of this replacement test, we can conclude that all of these words belong to the same class, that of "action" words, or verbs. 
However, this approach also has some serious limitations. The definition of a noun as a word denoting a person, place, or thing, is wholly inadequate, since it excludes abstract nouns such as time, imagination, repetition, wisdom, and chance. Similarly, to say that verbs are "action" words excludes a verb like be, as in I want to be happy. What "action" does be refer to here? So although this criterion has a certain validity when applied to some words, we need other, more stringent criteria as well. 
  


2. The form or `shape' of a word
Some words can be assigned to a word class on the basis of their form or `shape'. For example, many nouns have a characteristic -tion ending: 
 
action, condition, contemplation, demonstration, organization, repetition
Similarly, many adjectives end in -able or -ible
 
 acceptable, credible, miserable, responsible, suitable, terrible
Many words also take what are called INFLECTIONS, that is, regular changes in their form under certain conditions. For example, nouns can take a plural inflection, usually by adding an -s at the end: 
 
car -- cars 
dinner -- dinners 
book -- books
Verbs also take inflections: 
 
walk -- walks -- walked -- walking

  
3. The position or `environment' of a word in a sentence
This criterion refers to where words typically occur in a sentence, and the kinds of words which typically occur near to them. We can illustrate the use of this criterion using a simple example. Compare the following: 
 
[1] I cook dinner every Sunday 
[2] The cook is on holiday
 


In [1], cook is a verb, but in [2], it is a noun. We can see that it is a verb in [1] because it takes the inflections which are typical of verbs:  
 
I cook dinner every Sunday 
I cooked dinner last Sunday 
I am cooking dinner today 
My son cooks dinner every Sunday
And we can see that cook is a noun in [2] because it takes the plural -s inflection 
 
The cooks are on holiday
If we really need to, we can also apply a replacement test, based on our first criterion, replacing cook in each sentence with "similar" words: 
I cook dinner every Sunday
The cook is on holiday
I eat dinner every Sunday
I prepare dinner every Sunday
I miss dinner every Sunday
The chef is on holiday
The gardener is on holiday
The doctor is on holiday
Notice that we can replace verbs with verbs, and nouns with nouns, but we cannot replace verbs with nouns or nouns with verbs:  
 
*I chef dinner every Sunday 
*The eat is on holiday
  








It should be clear from this discussion that there is no one-to-one relation between words and their classes. Cook can be a verb or a noun -- it all depends on how the word is used. In fact, many words can belong to more than one word class. Here are some more examples:  
 
She looks very pale (verb) 
She's very proud of her looks (noun) 
He drives a fast car (adjective) 
He drives very fast on the motorway (adverb) 
Turn on the light (noun) 
I'm trying to light the fire (verb) 
I usually have a light lunch (adjective)
You will see here that each italicized word can belong to more than one word class. However, they only belong to one word class at a time, depending on how they are used. So it is quite wrong to say, for example, "cook is a verb". Instead, we have to say something like "cook is a verb in the sentence I cook dinner every Sunday, but it is a noun in The cook is on holiday".  
Of the three criteria for word classes that we have discussed here, the Internet Grammar will emphasize the second and third - the form of words, and how they are positioned or how they function in sentences. 
  






Open and Closed Word Classes
Some word classes are OPEN, that is, new words can be added to the class as the need arises. The class of nouns, for instance, is potentially infinite, since it is continually being expanded as new scientific discoveries are made, new products are developed, and new ideas are explored. In the late twentieth century, for example, developments in computer technology have given rise to many new nouns:
Internet, website, URL, CD-ROM, email, newsgroup, bitmap, modem, multimedia
New verbs have also been introduced:
download, upload, reboot, right-click, double-click
The adjective and adverb classes can also be expanded by the addition of new words, though less prolifically. 
On the other hand, we never invent new prepositions, determiners, or conjunctions. These classes include words like of, the, and but. They are called CLOSED word classes because they are made up of finite sets of words which are never expanded (though their members may change their spelling, for example, over long periods of time). The subclass of pronouns, within the open noun class, is also closed. 
Words in an open class are known as open-class items. Words in a closed class are known as closed-class items.  





CHAPTER 3
CONCLUSION
Finally, this is the last chapter of the Word classes paper that I arranged and made, I hope it can bring benefits to everybody, and if there any mistakes, please correct and give it some advices.
Summary
So, We can say that word classes are the most essentials part of English grammar. Without word classes, English wont be complete and perfect.










                              
BIBLIOGRAPHY

-         Google.com
-         Cambridge.com
-         Encyclopedia of literatures